Halaman

Jumat, 08 Maret 2013

HEGOMONI DALAM DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

PENGANTAR

Sebuah Slogan yang menarik perhatian bahwa “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Sekolah, sudah menjadi semacam syarat dalam usaha memanusiakan manusia. Hanya saja kritik terhadap  sistem  pendidikan  formal  kian  tajam  saja. Beberapa saat lalu, issue Sisdiknas menguat dan dicermati banyak  kalangan,  sebuah  pertanyaan  mengangah  “Benarkah pendidikan di Indonesia boleh diakses semua manusia Indonesia?”
Sejak berakhirnya rezim kekuasaan Orde Baru Soeharto pada penghujung dekade 1990-an, terjadi fenomena sangat menarik yang ditengarai sebagai lahirnya “reformasi” (Sinambela : 2008). Perubahan tersebut telah menguncang segenap lini tata kelola negara dan masyarakat. Begitu dahsyatnya guncangan reformasi itu telah mampu merubah orientasi dalam pengelolaan pemerintahan.
1
Gelombang  reformasi  pendidikan  yang  dimulai  sejak  runtuhnya  kekuasaan  Orde  Baru sampai sekarang ini telah berujung pada tuntutan perbaikan pendidikan di Indonesia. Menurut banyak  pihak  gelombang  reformasi  pendidikan  tersebut  disebabkan  oleh  beberapa  alasan, diantaranya  adalah:  (1)  Penyelenggaraan  pendidikan  era  sebelumnya  dianggap  telah  gagal mempersiapkan  tenaga  kerja  berkualitas  untuk  masa  depan;  (2) Dunia  pendidikan  tidak memiliki kepemimpinan dan visi untuk senantiasa memperbaharui dirinya sendiri; (3) Lembaga pendidikan  dari  Taman  Kanak-Kanak  sampai  Peguruan  Tinggi  dan  pendidikan  non-formal dianggap  kurang  sinkron  dengan  konteks  perubahan  yang  bercirikan  lebih  kompleks,  global, serta  menuntut  sikap  kompetitif  dan  inovatif;  (4)  Guru  bukan  hanya  memiliki  tingkat kesejateraan yang rendah tetapi juga tidak adanya kontrol dan alat yang jelas unt uk mengukur atas kinerjanya; (5) Birokrat tidak memiliki keberanian untuk memperbaharui pendidikan dengan menciptakan  kurikulum  masa  depan  yang  inovatif,  berbasis science,  lebih  banyak memanfaatkan  teknologi  tinggi,  lebih  menekankan  pada  globalisasi,  dan  lebih  menekankan pengembangan entrepreneur  skills;  (6)  Guru  lebih  banyak  mengajar  siswa  masa  lampau, bukannya mengajar siswanya menjadi lebih kreatif dalam menatap masa de pan yang kompleks dan penuh tantangan (Canton dalam Zamroni, 2007).
Namun  demikian,  dari  keseluruhan  kebijakan  pendidikan  yang  telah  diformulasikan  dan diimplementasikan  oleh pemerintah  dengan  segenap  piranti  birokrasi  yang  dimilikinya  di  atas pada  kenyataannya  belum  membuahkan  hasil  optimal.  Aneka  distorsi  dan  keganjilan penyelenggaraan  pendidikan  masih  muncul  di  banyak  tempat.  Sehingga  memunculkan pertanyaan  tentang  ada  apakah  kiranya  yang  menyebabkan  kegagalan  formulasi  dan implementasi  kebijakan  pendidikan  di  Indonesia?    Apakah  ada  yang  salah  dalam  kebijakan pendidikan  tersebut?  Variabel  apakah  yang  menghambat  dalam  proses  formulasi  dan implementasi  kebijakan  pendidikan  untuk  peningkatan mutu  pendidikan?  Sebarapa  efektifkah manajemen organisasi pelaksanaan kebijakan pendidikan? Bagaimanakah peran birokrasi pada level daerah dan tenaga teknis di lapangan? Terhadap semua pertanyaan-pertanyaan di atas dan  pertanyaan-pertanyaan  lain,  pada  intinya  diperlukan  pola  orientasi  baru  pembangunan pendidikan  khususnya  dan  pembangunan  bangsa  umumnya  yang  berbeda  dari  sebelumnya. Pembangunan pendidikan di Indonesia yang tampak kurang optimal meskipun telah dilakukan aneka kebijakan strategis maupun taktis, pada gilirannya mendorong dilakukannya  reorientasi penyelenggaraan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Bahwa pemerintahan yang di masa Orde Baru telah abai akan hakikat kedaulatan rakyat, pada arkhirnya harus benar-benar adaptif membaca kehendak dan keinginan rakyat menurut kerangka kerja demokrasi. Namun dari sini pula satu persoalan baru mencuat ke permukaan. Negara dan pemerintahan yang bekerja berlandaskan prinsip demokrasi justru mendorong masyarakat untuk memasuki fase rising expectation akan kesejahteraan dan kemakmuran. Salah satu upaya yang dilesakkan masyarakat untuk mencapai harapan tersebut adalah dengan tuntutan pelaksanaan Otonomi Daerah. Tuntutan tersebut dilandasi pemikiran bahwa selama ini yang menjadi penyebab macetnya pembangunan di daerah adalah sistem pemerintahan yang sangat terstralistik pada pemerintah pusat.
Derasnya tuntutan masyarakat, memaksa pemerintah merubah paradigma pemerintahan dari ”sentralisasi” pada Era Orde Baru, menjadi ”desentralisasi” pada Era Reformasi. Dalam menyikapi aspirasi tersebut Pemerintahan B. J. Habibie meresponnya dengan meluncurkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Salah satu dasar pemikiran  utama lahirnya Undang-Undang dimaksud adalah untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

A.    HEGOMONI
Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan   oleh   Antonio   Gramci   (1891-1937).   Antonio   Gramci   dapat   dipandang sebagai  pemikir  politik  terpenting  setelah  Marx. Gagasanya  yang  cemerlang  tentang hegemoni, yang banyak dipengeruhi oleh filsafat hukum Hegel, dianggap merupakan landasan   paradigma   alternatif   terhadap   teori  Marxis  tradisional   mengenai   paradigma base-superstructure   (basis-suprastruktur).   Teori-teorinya   muncul   sebagai   kritik   dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
Gramsci menuliskan pemikirannya dengan bertitik tolak pada kritiknya terhadap pandangan marxisme ortodoks, terutama kerangka teoretis Nicolai Bukharin. Kerangka teoretis Bukharin tersebut bermaksud sebagai sebuah karya tentang marxisme-leninisme untuk para kader partai komunis. Bukharin menulis ajaran-ajaran marxisme-leninisme sebagai pandangan dunia proletariat, sekaligus upaya Bukharin menyatukan sosiologi kontemporer dalam karyanya itu. Tindakan Bukharin itu bertujuan untuk menunjukkan bahwa materialisme sejarah adalah sosiologi tentang proletariat dengan kadar kepastian ilmiah (Patria & Arief, 2003:60-62).
Melalui konsep hegemoni, Gramsci beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja.  Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan   kata   lain   kekuasaan   membutuhkan   perangkat   kerja   yang   bernuansa  law enforcemant. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata negara (state)   melalui   lembaga-lembaga   seperti   hukum,   militer,   polisi   dan   bahkan   penjara. Kedua, adalah   perangkat kerja  yang   mampu   membujuk   masyarakat  beserta   pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian   dan   bahkan   juga   keluarga   (Heryanto,   1997).
Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus   (consenso)   dari   pada   melalui   penindasan   terhadap   kelas   sosial   lain.   Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melaluiyang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat iu. Itulah sebabnya hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan   memandang   problematika   sosial   dalam   kerangka   yang   ditentukan   (Gramsci, 1976:244).

B. KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL
Departemen  Pendidikan  dan Kebudayaan telah  menetapkan  berbagai  kebijakan  terobosan yang mendasar dan berskala besar selama periode 2005-2009, yang dalam jangka menengah  dan  panjang  diharapkan  berdampak  besar  pada  peningkatan  dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu, dan daya saing pendidikan, serta penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan. Kebijakan teroboson yang  selama  ini  dilaksanakan  akan  tetap  diteruskan  menjadi  kebijakan  strategis pembangunan  pendidikan  pada  masa  mendatang,  yaitu  pada  periode  2010-2014 dengan fokus kebijakan (Renstra Depdiknas Tahun 2010-2014) sebagai berikut.
1.      Reformasi Pendanaan Pendidikan
Dalam  periode  pembangunan  2005-2009,  reformasi  pendanaan  pendidikan  telah menghasilkan  terobosan  penting  yang  meliputi  program  Bantuan  Operasional Sekolah  (BOS),  BOS  buku,  Bantuan  Khusus  Murid  (BKM),  dan  beasiswa  dari  SD hingga  perguruan  tinggi  yang  bertujuan  mendukung  penyediaan  dana  pendidikan bagi  peserta  didik,  khususnya  bagi  masyarakat  miskin  atau  yang  berkekurangan serta peningkatan mutu melalui Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM).

2.      Reformasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Perluasan  dan  pemerataan  akses  pendidikan  pada  tahun  2005--2009  mengalami kendala  yang  diakibatkan  masalah  distribusi  guru  yang  tidak  merata  di  beberapa wilayah  di  Indonesia.  Sesuai  dengan  PP  No.  38  Tahun  2007  tentang  Pembagian Urusan  Pemerintahan  antara  Pemerintah,  Pemerintahan  Daerah  Provinsi,  dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pada tahun periode 2010--2014,  Depdiknas akan melakukan redistribusi guru antarprovinsi sesuai dengan kewenangannya untuk memastikan ketersediaan rasio guru dengan siswa maksimal yang disyaratkan oleh Standar Nasional Pendidikan. 
3.      Penerapan TIK  untuk e-Pembelajaran dan e-Administrasi
Pendayagunaan TIK diyakini dapat menunjang upaya peningkatan dan pemerataan akses  pendidikan,  peningkatan  mutu,  relevansi,  dan  daya  saing  pendidikan,  serta tata  kelola,  akuntabilitas,  dan  citra  publik  pendidikan.  Penerapan  TIK  untuk pendidikan  oleh  Departemen  Pendidikan  Nasional  dapat  memperbaiki  akses  dan mutu serta sekaligus meningkatkan efektivitas tata kelola.
4.      Pembangunan dan Rehabilitasi Prasarana Pendidikan
Sebagai  upaya  peningkatan  akses  dan  mutu  pendidikan  serta  menjamin terpenuhinya  hak  warga  negara  atas  pendidikan,  pemerintah  berusaha memperbanyak  dan  meningkatkan  kualitas  berbagai  prasarana  fisik  pendidikan, antara  lain  rehabilitasi  prasarana  pendidikan,  pengadaan  ruang  kelas  dan  unit sekolah baru, serta pembangunan perpustakaan dan laboratorium.
5.      Penyediaan Sarana Pendidikan
Selain  ketersediaan  dan  kualitas  pendidik  dan  tenaga  kependidikan,  peningkatan mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana pembelajaran seperti peralatan  laboratorium,  alat  peraga,  fasilitas  teknologi  informasi  dan  komunikasi, buku,  dan  fasilitas  olahraga.  Sejalan  dengan  penyediaan  sarana  pendidikan  pada periode  sebelumnya,  pada  tahun  2010--2014  Depdiknas  mempertahankan penyediaan sarana pendidikan yang bersifat massal, yaitu (a) penyediaan peralatan dan bahan habis pakai untuk laboratorium IPA; (b) penyediaan peralatan TIK untuk mendukung  proses  pembelajaran  seperti  perangkat  komputer,  perpustakaan elektronik,  dan  buku  ajar  dalam  format  elektronik;  (c)  penyediaan  peralatan laboratorium  bahasa;  (d)  penyediaan  sarana  olahraga  untuk  mendukung peningkatan  kesehatan  jasmani  peserta  didik;  dan  (e)  penyediaan  buku-buku pelajaran yang meliputi buku teks ajar dan buku pengayaan.
6.      Reformasi Perbukuan secara Mendasar
Kebijakan  perbukuan  nasional  memasuki  fase  baru  sejak  terbitnya  Permendiknas Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran yang kemudian diamandemen dengan Permendiknas No. 2 Tahun 2008 tentang Buku.
7.      Peningkatan  Mutu  dan  Daya  Saing  Pendidikan  dengan  Pendekatan Komprehensif
Depdiknas  telah  mengembangkan  pendekatan  yang  komprehensif  untuk meningkatkan  mutu,  relevansi,  dan  daya  saing  pendidikan.  Pendekatan komprehensif ini didesain berdasarkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang  mengamanatkan  dikembangkannya  Standar  Nasional  Pendidikan  (SNP), penyelenggaraan  pendidikan  bertaraf  internasional  dan  berbasis  keunggulan  lokal, akreditasi pendidikan, dan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
8.      Perbaikan Rasio Peserta Didik SMK:SMA dan Pendidikan Vokasi
Peningkatan  relevansi  pendidikan  merupakan  kebijakan  yang  ditujukan  agar  keluaran  pendidikan  dapat  lebih  berorientasi  pada  pemenuhan  dunia  kerja  serta kebutuhan  dunia  usaha  dan  industri.  Oleh  sebab  itu,  relevansi  proses  pendidikan formal dan nonformal perlu diarahkan agar peserta didik, baik di tingkat pendidikan menengah,  terutama  kejuruan  maupun  di  tingkat  pendidikan  tinggi  agar  lebih  siap memasuki dunia kerja.
9.      Otonomisasi  Satuan Pendidikan
Sejalan  dengan  kerangka  hukum  reformasi  pendidikan,  khususnya  UU  Nomor  9 Tahun  2009  tentang  Badan  Hukum  Pendidikan,  Pemerintah  memberikan  otonomi kepada  pemerintahan  provinsi,  kabupaten,  atau  kota  untuk  mengurusi  pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah secara demokratis.
10.  Intensifikasi  dan  Ekstensifikasi  Pendidikan  Nonformal  dan  Informal untuk  Menggapaikan  Layanan  Pendidikan  Kepada  Peserta  Didik  yang Tak Terjangkau Pendidikan Formal (Reaching The Unreached)
Bagi negara sebesar Indonesia dengan penduduk 230 juta yang tersebar di 18.000 kepulauan  dengan  distribusi  pendapatan  yang  belum  merata  dan  struktur  sosial masyarakat  yang  masih  didominasi  kelas  bawah  yang  miskin,  tentu  tidak  mungkin bagi  Pemerintah  untuk  memberikan  pelayanan  pendidikan  kepada  semua  warga negaranya  melalui  pendidikan  formal.  Oleh  karena  itu,  pendidikan  nonformal  bagi Indonesia menjadi sangat penting, terutama bagi mereka yang miskin yang tinggal di daerah  perbatasan,  pulau  terpencil,  di  daerah  pegunungan  yang  relatif  terisolasi, atau  daerah  lain  yang  masih  terisolasi  karena  belum  terbangunnya  infrastruktur perhubungan  dan  sarana  publik  secara  memadai  dan/atau  masyarakat  yang memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus.
11.  Penguatan  Tata  Kelola,  Akuntabilitas,  dan  Citra  Publik  Pendidikan dengan Pendekatan Komprehensif
Penguatan  tata  kelola,  akuntabilitas,  dan  citra  publik  dilaksanakan  secara komprehensif  dan  sistematis.  Sebagai  hasil  dari  upaya  peningkatan  tata  kelola, akuntabilitas  dan  standar  mutu  pelayanan  publik,  Depdiknas  telah  berhasil memperoleh  opini Wajar  Dengan  Pengecualian  (WDP)  dari  BPK  pada  tahun  2008 dan ditargetkan mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian pada tahun 2010. Untuk itu perlu ada penataan kelembagaan sebagai upaya reformasi birokrasi membentuk Departemen Pendidikan Nasional yang ramping dan efektif serta disesuaikan dengan arah  visi,  misi,  tujuan,  dan  sasaran  yang  akan  dicapai  dalam  Renstra  Depdiknas 2010-2014.
12.  Reformasi Pembelajaran yang Mendidik dan Dialogis
Gagasan pokok paradigma belajar aktif berlandaskan pada teori konstruktivisme dan inti teori konstruktivisme adalah mengonstruksi makna mengenai pentingnya latar  belakang  dan  budaya  siswa  untuk  diintegrasikan  ke  dalam  pelaksanaan kurikulum dan tanggung jawab belajar, terutama diemban oleh siswa.
13.  Partisipasi Masyarakat di Bidang Pendidikan
UU Sisdiknas merumuskan peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta  perseorangan,  kelompok,  keluarga,  organisasi  profesi,  pengusaha,  dan organisasi  kemasyarakatan  dalam  penyelenggaraan  dan  pengendalian  mutu pelayanan pendidikan. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan  pengguna  hasil  pendidikan.  Masyarakat  berhak menyelenggarakan  pendidikan berbasis  masyarakat  pada  pendidikan  formal  dan  nonformal  sesuai  dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
14.  Pendidikan Kreatif dan Kewirausahaan
Dalam mendukung Pengembangan Ekonomi Kreatif (PEK) tahun 2010-2014, yakni pengembangan  kegiatan  ekonomi  berdasarkan  pada  kreativitas,  keterampilan,  dan bakat individu untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis  dan  berpengaruh  pada  kesejahteraan  masyarakat  Indonesia.

C. DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI DAERAH 
Sejak  tahun  2004  pemerintah  mengeluarkan  regulasi  baru  berupa  Undang–Undang Nomor  32  tahun  2004  tentang  otonomi  daerah  yang  menuntut  pembangunan  pendidikan dioptimalkan  di  daerah.  Meskipun  sejak  tahun  1999  rintisan  pelaksanaan  desentralisasi pendidikan di Indonesia telah dilaksanakan, yakni dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun  1999  yang  menekankan  bahwa  wewenang  paling  besar  untuk  sektor  pendidikan  sejak pendidikan  pra-sekolah  sampai  pendidikan  menengah  atas  adalah  urusan  pemerintah kabupaten atau kota. Konsekuensi atas hadirnya undang -undang tersebut, maka peran bupati dan walikota diharapkan lebih kokoh dalam melaksanaan otonomi pendidikan deng an mengacu pada empat argumen pokok dalam membuat kebijakan pendidikan, yakni: 1) peningkatan mutu; 2)  efisiensi    keuangan;  3)  efisien  administrasi;  dan  4)  perluasan  kesempatan  pendidikan. Wewenang  paling  besar  untuk  sektor  pendidikan  sejak  dari  pra-sekolah  sampai  pendidikan menengah atas merupakan urusan pemerin tah kabupaten atau kota. Oleh karena itu, dengan daerah  diberi  kesempatan  membuat grand  design yang  secara  kontekstual  sesuai  dengan kondisi wilayahnya, diharapkan terjadi peningkatan mutu pendidikan lebih cepat dan tepat. Sejalan  dengan  desentralisasi  pendidikan,  daerah  tingkat  Kabupaten  dan  Kota  memiliki kewenangan untuk menggarap pengembangan p endidikan sesuai dengan kontek, potensi, dan kebutuhan  masyarakat  di  daerah  tersebut.  Sementara  itu,  penerapan  desentralisasi pendidikan  disertai  dengan  penataan  fungsi  kelembagaan  pendidikan  mulai  dari  Dinas Pendidikan di tingkat propinsi sebagai pihak yang mempunyai kewenangan dalam perumus dan pelaksana kebijakan, Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota sebagai operasionalisasi kebijakan dan  lembaga-lembaga  pendidikan  dan  pelatihan  sebagai  kontrol  terhadap  kualitas pengembangan  profesionalitas  pendidikan. Dalam  kenyataaannya,  fungsi  ini  belum  berjalan sebagaimana  mestinya.  Hal  itu  dikarenakan  pemahaman  dan  kesiapan  sebagian  besar pengelola pendidikan di daerah terhadap konsep desentralisasi pendidikan belum  memadai.
Secara global desentralisasi merupakan kecenderungan fenomena yang sangat dominan. Tuntutan  dan  kebutuhan  desentralisasi  pen didikan  muncul  dan  berkembang  sebagai  bagian dari  agenda  global  tentang  demokrati sasi  dan  desentralisasi  pemerintahan  dalam  rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu isu strategis dengan desentralisasi  pendidikan  adalah  perlu  diupayakan  pemerintah  yang  dapat  memberikan pelayanan  pendidikan  kepada  masyarakat  di  bidang  pendidikan  lebih  baik  (Rasiyo,  2005). Desentralisasi pendidikan juga dapat dipahami secara kritis sebagai pelepasan tanggung jawab pemerintah  pusat  terhadap  proses  pendidikan  masyarakat  dan  dinilai  lebih  melanggengkan proses  privatisasi  pendidikan  di  Indonesia.  Desentralisasi  pendidikan  menjadi  bentuk  dari penerapan  neoliberalisme  di  satu  sisi,  tetapi  di  sisi  lain  adalah  pengurangan  hak  negara terhadap  intervensi  yang  terlalu  kuat  dalam  proses  pendidikan  dengan  mengembalikan  pada rakyat untuk lebih berperan dalam proses pendidikan.
Ada  banyak  alasan  mengapa  desentralisasi  dipilih  oleh  pemerintah  pusat  dengan  cara melimpahkan sebagian urusannya ke pemerintah daerah (Agus Dwiyanto, 2005). Alasan politik, desentralisasi  dapat  meningkatkan  kapabilitas  daerah  demi  memperkuat  kepentingan  daerah maupun  untuk  mendukung  politik  d an  kebijakan  nasional  melalui  pembangunan  proses demokrasi  di  lapisan grassroot.  Alasan  manajemen,  desentralisasi  dapat  meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas publik. Alasan kultural, desentralisasi dimaksudkan untuk memperhatikan kekhususan, keistimewaan suatu daerah, seperti geografis, kondisi pendu duk, perekonomian, kebudayaan. Alasan pembangunan desentralisasi dapat melancarkan formulasi dan  implementasi  program  untuk  meningkatkan  kesejah teraan  masyarakat.  Pandangan  dari kacamata kepentingan  pusat,  desentralisasi  dapat  mengurangi  kelemahan  pemerintah  pusat dalam mengawasi program-programnya.
Implementasi desentralisasi  pendidikan  amat  mementingkan the stakeholder  society, yang  oleh  Ackerman  dan  Alscott  sebagaimana  dikutip  oleh  Agus  Dwiyanto,  diformulasikan secara sederhana, yakni sebagai masyarakat yang para anggotanya mempunyai kepentingan bersama untuk membangun masyarakatnya sendiri. Terdapat lima aktor dalam the stakeholder society, yaitu: 1) masyarakat lokal;  2) orangtua; 3) peserta didik; 4) negara; 5) pengelola profesional  pendidikan. Fungsi  negara  bukan  lagi  sebagai  penguasa  juga  bukan  sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang bertujuan melestarikan kekuasaan negara, tetapi sebagai partner yang memfasilitasi proses pendidikan yang disepakati bersama. Tugas negara antara lain  membantu  adanya  standar  nasional  bahkan  internasional  dari  lembaga-lembaga pendidikan  dan  membantu  daerah  yang  kekurangan  sumber  daya  manusia  dan  sumber pembiayaan.  Oleh  karenanya, kebijakan  desentralisasi  pendidikan  diyakini  dapat  berdampak secara  positif  dalam  banyak  hal.  Di  antara  dampak  positif  yang  diyakini  dapat  diperoleh  dari kebijakan  desentralisasi  pendidikan  adalah  peningkatan  mutu,  efisien  keuangan,  efisien administrasi, dan perluasan kesempatan atau pemerataan pendidikan.
Namun  realitasnya,  ketika  desentralisasi  pendidikan  telah  diterapkan  banyak menunjukkan  masalah.  Temuan Rasiyo,  menyebutkan  adanya  beberapa  masalah  dalam penerapan desentralisasi pendidikan. Paling tidak ada empat ma salah penerapan desentralisasi pendidikan yang ditemukan. Pertama, peraturan-peraturan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang ada belum sepenuhnya dapat mendukung terimplementasikan paradigma dan model manajemen partisipatif berpusat kekuatan daerah otonom. Kedua, belum semua daerah otonom memiliki persepsi, tafsir, dan komitmen yang sama dan konstruktif untuk reformasi dan pembaharuan  manajemen  pendidikan. Ketiga, budaya  birokrasi  dan  pemerintahan  yang berkembang  selama  berlangsungnya  otonomi  daerah  justru  sangat  segregatif  dan  involutif, dalam  arti  hanya  mementingkan  kepenting an  daerah  otonomnya  sendiri  dan  memperumit manajemen lingkungan daerah otonom. Keempat, masih lemahnya koordinasi dan sinergi antar daerah otonom dalam manajemen pendidikan. Dari empat kelemahan di atas, maka Rasiyo menyimpulkan  bahwa  proses  penyelenggaraan  pendidikan  dewasa  ini  telah  berlangsung secara  parokial  dan  involutif.  Proses  parokialisme  dan  involusi  dalam  penyelenggaraan pendidikan  tersebut  kemudian  menciptakan  apa  yang  dikenal  dengan ‘sentralisme  lokal’ dan ‘regulasi kaku’.
Berdasarkan  semua  paparan  di  atas,  akhirnya  dapat  diperoleh  gambaran  mengenai kompleksitas dinamik pembangunan pendidikan di Indonesia dengan segenap variabel penentu yang  saling  memiliki  keterkaitan  secara  kompleks,  termasuk  di  dalamnya  adalah  intensitas dinamik pelaksanaan kebijakan desentralisasi.

PERMASALAHAN MANAJEMEN PENDIDIKAN AKIBAT HEGOMONI BIROKRASI PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.

Freire (2007:17) kekuasaan bukan hanya merupakan cara pandang yang menjadi alternatif dan berguna bagi para teoritisi radikal yang terperangkap dalam keputusan dan sinimisme (memandang rendah), tetapi juga menekan bahwa kekuasaan itu selalu diikuti dengan pertentangan, ketegangan dan kontradiksi dalam berbagai institusi sosial, seperti sekolah dimana kekuasaan seringkali dianggap sebagai kekuatan positif yang resisten. Akhirnya, kekuasaan sebagai sebuah bentuk dominasi tidak dipaksakan pemerintah secara sederhana melalui tangan-tangannya, seperti polisi, tentara, teknologi dan ideologi yang secara bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi budaya yang berfungsi secara aktif untuk masyarakat diam.
Masalah pendidikan adalah salah satu masalah yang bersifat universal. Semua manusia tanpa kecuali sangat berkepentingan terhadap pendidikan. Bagi anak dan remaja, pendidikan merupakan suatu hak yang harus diterima baik melalui sekolah (school education) maupun luar sekolah (out of school education). Bagi orang tua anak, pendidikan merupakan kewajiban yang harus  diberikan  kepada  anaknya  dalam  wujud  pelayanan,  bim bingan,  dan  hal-hal  lain  yang mendukung pemuasan hak anak. Bagi orang dewasa, pendidikan juga merupakan hak, dalam arti  hak  untuk  menjalani  pendidikan  sepanjang  hayat.  Dengan  demikian,  masalah-masalah kehidupan yang menyangkut dunia pendidikan merupakan ma salah yang bersifat publik.
Bagi masyarakat kelompok marginal seperti golongan miskin maupun kaum pedalaman akan  mengalami  kesulitan  dalam  memperoleh  kesempatan  pendidikan  secara  memadahi. Mereka  memiliki  keterbatasan  dalam  mencari  layanan  pendidikan  yang bermutu  dan  mudah dijangkau secara geografis. Sehingga yang terjadi, kelompok miskin dan kaum pedalaman ini hanya memperoleh layanan pendidikan yang kurang bermutu dan kurang terjangkau dari segi geografis.
Dalam  konteks  ini,  termasuk  dalam  kelompok  masyarakat  marginal  adalah  golongan perempuan. Banyak perempuan di banyak daerah, mengalami pembatasan-pembatasan. Tidak hanya pada jaman Kartini perempuan sering hanya diidentikkan dengan masalah dapur, sumur, dan kasur (hanya  menenak  nasi,  mencuci,  dan  sebagai  teman  tidur).    Pada  jaman  modern sekalipun,  perempuan  sering  dilecehkan  dan  dikekang  dalam  banyak  segi  termasuk  dalam memperoleh  kesetaraan  pendidikan. Sedangkan  masyarakat  yang  masuk  lapisan  menengah dan lapisan atas, banyak diuntungkan untuk memperoleh dan memilih layanan pendidikan yang disukai.  Mereka  bisa  ‘membeli’  lembaga  pendidikan  yang  disukai  untuk  dimasuki,  termasuk pada lembaga-lembaga pendidikan (sekolah dan universitas) yang dikenal ‘favorite’.
Fenomena hegomoni dualistik di atas menunjukkan adanya masalah berkaitan dengan kesenjangan pendidikan antara kelas dan kelompok sosial atas dengan kelompok sosial bawah, antara desa dengan  kota,  antara  laki-laki  dengan  perempuan,  antara  pusat  dan  daerah.  Pada  satu  pihak ada  kelompok  masyarakat  yang  diuntungkan, sedangkan  di  pihak  lain  ada  golongan  yang kurang diuntungkan.
Persoalan lain dalam dunia pendidikan adalah menyangkut kendala pluralisme yang amat kompleks dari masyarakat Indonesia. Sehingga, sejak tanggal 1 Januari 2001 Indonesia telah melakukan  terobosan  dengan  melaksanakan  otonomi  daerah  untuk  masing-masing  Daerah Tingkat  II.  Konsekwensi  dari  teroboson  tersebut  adalah  beberapa  segi  dari  pengelolaan pendidikan juga mengalami otonomi daerah. Hal ini secara positif bisa mendekatkan problem pendidikan terhadap kondisi multikultural bangsa Indonesia.
Lebih jauh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota disebutkan tentang pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas,   dan    efisiensi   dengan    memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Dan pada pasal tiga (3) disebutkan bahwa urusan  pemerintahan  yang  diserahkan  kepada  daerah disertai  dengan  sumber  pendanaan,  pengalihan  sarana  dan prasarana, serta kepegawaian.
Semua persoalan yang telah disebut di atas merupakan persoalan yang bersifat publik. Sehingga  bila  sebuah  perumusan  kebijakan  yang  ditujukan  untuk  memecahkan  masalah-masalah  krusial  seperti  pendidikan  sebagaimana  disebut  di  atas,  maka  tergolong  sebagai hegomoni kebijakan antara dualisme birokrasi.  Yakni kebijakan  yang  pada  dasarnya  mengatur  hak  dan kewajiban  anggota masyarakat,  mengatur  hubungan  kelompok  dan  organisasi  dalam  masyarakat,  termasuk  di dalamnya  mengatur  cara  kerja  pejabat  pemerintah  (negara)  dalam  bidang  pendidikan. Kebijakan semacam ini bersifat mengikat sasaran yang terkena kebijakan ini.
D.   SOLUSI TERHADAP MASALAH MANAJEMEN PENDIDIKAN AKIBAT HEGOMONI BIROKRASI PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Peningkatan  mutu  pendidikan  merupakan  langkah  strategis  dalam pengembangan  sumberdaya  manusia.  Untuk  itu,  pertama-tama,  kebutuhan tenaga  pendidikan  harus  tercukupi,  dan  kualitas  tenaga  pendidik  perlu  terus ditingkatkan  baik  dari  segi  kompetensi,  sikap-mental  dan  etika  profesi. Peningkatan  kinerja  mereka  kiranya  akan  dapat  diraih  bersamaan  dengan peningkatan  penghargaan  dan  kesejahteraan  mereka.  Peningkatan  mutu  guru dilakukan  melalui  peningkatan  mutu  pendidikan  guru  serta  membuka  peluang bagi sarjana umum untuk menjadi guru melalui sertifikasi.
Kedua,  sarana-prasarana  pendidikan  harus  disediakan  dan  diperbaiki. Penyertaan  masyarakat  dalam  hal  ini  kiranya  akan  memperkuat  rasa  memiliki dan  memperkuat  kepeduliannya  terhadap  pendidikan.  Masyarakat  pada umumnya  melihat  pendidikan  sebagai  (satu-satunya)  jalan  untuk  melakukan mobilitas vertikal. Dengan kebutuhan yang besar dan suplai pendidikan bermutu yang terbatas, telah terjadi distorsi besar dalam sistem pendidikan kita. Apresiasi masyarakat  atas  pendidikan  yang  bermutu  harus  ditingkatkan,  karena masyarakatlah  yang  akan  menjadi  pengendali  mutu  pendidikan.  Peningkatan apresiasi pada pendidikan akan meningkatkan apresiasi pada guru dan tenaga pendidik. 
Ketiga,  kualitas  dan  efektivitas  manajemen  pendidikan  harus dikembangkan.  Hal  itu  dapat  dilakukan  melalui  pemberian  otonomi  dan pendelegasian  otoritas  penyelenggaraan  pendidikan  dengan  menempatkan pemerintah  sebagai  fasilitator,  motivator,  dan  dinamisator.  Mutu  dan  relevansi pendidikan  harus  dikembangkan  dan  ditingkatkan  berdasar  kondisi  lingkungan spesifik masing-masing perguruan. 
Keempat,  harus  dilakukan  reorientasi  pendidikan.  Pembelajaran  tidak hanya  merupakan  proses  pengembangan  kompetensi  tetapi  harus  menjadi pembelajaran yang mencerdaskan dan membebaskan agar dapat menghasilkan lulusan  yang  dapat  berfungsi  dan  berperan  positif  dalam  masyarakat  madani. Untuk  itu,  pendidikan  harus  dikembangkan  berdasarkan  pada  martabat  dan komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan untuk membangun insan yang tekun, teliti,  dan  optimis.  Lebih  dari  itu,  reorientasi  pendidikan  diperlukan  untuk mengakhiri  kecenderung  sebagian  warga  masyarakat  yang  lebih  menghargai gelar atau ijazah dari pada kompetensi. Orientasi tersebut harus diubah menjadi orientasi pada kompetensi, kecakapan, kecerdasan dan keluhuran budi.
Kinerja  sistem  pendidikan  perlu  ditingkatkan  dengan  orientasi  pada kemampuan mengatasi masalah kebangsaan. Ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang dikembangkan oleh perguruan tinggi haruslah membumi dan dapat  memenuhi  kebutuhan  serta  menjawab  permasalahan  bangsa  dengan memanfaatkan  sumberdaya  dan  kearifan  lokal  tanpa  meninggalkan  wawasan global. Perguruan tinggi juga mengemban misi penting untuk menjadi kekuatan moral dan sumber pemikiran akan solusi permasalahan bangsa.
Semua    usaha  di  atas  tentu  saja  memerlukan  pendanaan  yang  tidak sedikit.  Oleh  karena  itu,  komitmen  pemerintah  untuk  berinvestasi  pada pendidikan sebagai solusi masa depan bangsa harus segera diwujudkan melalui pengalokasian  20%  APBN  untuk  pendidikan,  di  luar  anggaran  pendidikan kedinasan  dan  gaji  guru.  Untuk  lebih  memperkuat  dukungan  pengembangan pendidikan,  maka  sangat  diperlukan  kemitraan  yang  erat  antara  pemerintah, pemerintah  daerah,  dan  swasta  dalam  menyelenggarakan  pendidikan  yang bermutu.  Akses  dan  ekuitas  pada  pendidikan  yang  berkualitas,  terutama pendidikan dasar dan menengah, harus terus ditingkatkan. Untuk meningkatkan daya saing bangsa, maka pendidikan unggulan bertaraf unggulan perlu dikembangkan  di  tiap  daerah  dengan  penekanan  yang  relevan  dengan kebutuhan dan ciri khas daerah.