Sebuah Slogan yang menarik
perhatian bahwa “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Sekolah, sudah menjadi semacam
syarat dalam usaha memanusiakan manusia. Hanya saja kritik terhadap sistem
pendidikan formal kian
tajam saja. Beberapa saat lalu,
issue Sisdiknas menguat dan dicermati banyak
kalangan, sebuah pertanyaan
mengangah “Benarkah pendidikan di
Indonesia boleh diakses semua manusia Indonesia?”
Sejak berakhirnya rezim
kekuasaan Orde Baru Soeharto pada penghujung dekade 1990-an, terjadi fenomena
sangat menarik yang ditengarai sebagai lahirnya “reformasi” (Sinambela : 2008).
Perubahan tersebut telah menguncang segenap lini tata kelola negara dan
masyarakat. Begitu dahsyatnya guncangan reformasi itu telah mampu merubah
orientasi dalam pengelolaan pemerintahan.
1
|
Namun demikian,
dari keseluruhan kebijakan
pendidikan yang telah
diformulasikan dan
diimplementasikan oleh pemerintah dengan
segenap piranti birokrasi
yang dimilikinya di
atas pada kenyataannya belum
membuahkan hasil optimal.
Aneka distorsi dan
keganjilan penyelenggaraan
pendidikan masih muncul
di banyak tempat.
Sehingga memunculkan
pertanyaan tentang ada
apakah kiranya yang
menyebabkan kegagalan formulasi
dan implementasi kebijakan pendidikan
di Indonesia? Apakah
ada yang salah
dalam kebijakan pendidikan tersebut?
Variabel apakah yang
menghambat dalam proses
formulasi dan implementasi kebijakan
pendidikan untuk peningkatan mutu pendidikan?
Sebarapa efektifkah manajemen
organisasi pelaksanaan kebijakan pendidikan? Bagaimanakah peran birokrasi pada
level daerah dan tenaga teknis di lapangan? Terhadap semua
pertanyaan-pertanyaan di atas dan
pertanyaan-pertanyaan lain, pada
intinya diperlukan pola
orientasi baru pembangunan pendidikan khususnya
dan pembangunan bangsa
umumnya yang berbeda
dari sebelumnya. Pembangunan
pendidikan di Indonesia yang tampak kurang optimal meskipun telah dilakukan
aneka kebijakan strategis maupun taktis, pada gilirannya mendorong
dilakukannya reorientasi penyelenggaraan
untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Bahwa pemerintahan yang di masa
Orde Baru telah abai akan hakikat kedaulatan rakyat, pada arkhirnya harus
benar-benar adaptif membaca kehendak dan keinginan rakyat menurut kerangka
kerja demokrasi. Namun dari sini pula satu persoalan baru mencuat ke permukaan.
Negara dan pemerintahan yang bekerja berlandaskan prinsip demokrasi justru
mendorong masyarakat untuk memasuki fase rising expectation akan
kesejahteraan dan kemakmuran. Salah satu upaya yang dilesakkan masyarakat untuk
mencapai harapan tersebut adalah dengan tuntutan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Tuntutan tersebut dilandasi pemikiran bahwa selama ini yang menjadi penyebab
macetnya pembangunan di daerah adalah sistem pemerintahan yang sangat
terstralistik pada pemerintah pusat.
Derasnya tuntutan masyarakat,
memaksa pemerintah merubah paradigma pemerintahan dari ”sentralisasi” pada Era
Orde Baru, menjadi ”desentralisasi” pada Era Reformasi. Dalam menyikapi
aspirasi tersebut Pemerintahan B. J. Habibie meresponnya dengan meluncurkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian
direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Salah satu dasar pemikiran utama lahirnya Undang-Undang dimaksud adalah
untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah
secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
A.
HEGOMONI
Teori hegemoni merupakan sebuah teori
politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh
Antonio Gramci (1891-1937). Antonio
Gramci dapat dipandang sebagai pemikir
politik terpenting setelah
Marx. Gagasanya yang cemerlang
tentang hegemoni, yang banyak dipengeruhi oleh filsafat hukum Hegel,
dianggap merupakan landasan
paradigma alternatif terhadap
teori Marxis tradisional
mengenai paradigma
base-superstructure
(basis-suprastruktur).
Teori-teorinya muncul sebagai
kritik dan alternatif bagi
pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh
determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
Gramsci menuliskan pemikirannya dengan
bertitik tolak pada kritiknya terhadap pandangan marxisme ortodoks, terutama
kerangka teoretis Nicolai Bukharin. Kerangka teoretis Bukharin tersebut
bermaksud sebagai sebuah karya tentang marxisme-leninisme untuk para kader
partai komunis. Bukharin menulis ajaran-ajaran marxisme-leninisme sebagai
pandangan dunia proletariat, sekaligus upaya Bukharin menyatukan sosiologi
kontemporer dalam karyanya itu. Tindakan Bukharin itu bertujuan untuk
menunjukkan bahwa materialisme sejarah adalah sosiologi tentang proletariat
dengan kadar kepastian ilmiah (Patria & Arief, 2003:60-62).
Melalui konsep hegemoni,
Gramsci beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan
paling tidak dua perangkat kerja.
Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan
yang bersifat memaksa atau dengan
kata lain kekuasaan
membutuhkan perangkat kerja
yang bernuansa law
enforcemant. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh
pranata negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti
hukum, militer, polisi
dan bahkan penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang
mampu membujuk masyarakat
beserta pranata-pranata untuk
taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan,
kesenian dan bahkan
juga keluarga (Heryanto,
1997).
Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang
didapat melalui mekanisme konsensus
(consenso) dari pada
melalui penindasan terhadap
kelas sosial lain.
Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melaluiyang ada di masyarakat
yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif
dari masyarakat iu. Itulah sebabnya hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk
menggiring orang agar menilai dan
memandang problematika sosial
dalam kerangka yang
ditentukan (Gramsci, 1976:244).
B. KEBIJAKAN PENDIDIKAN
NASIONAL
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan telah
menetapkan berbagai kebijakan
terobosan yang mendasar dan berskala besar selama periode 2005-2009,
yang dalam jangka menengah dan panjang
diharapkan berdampak besar
pada peningkatan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan
mutu, dan daya saing pendidikan, serta penguatan tata kelola, akuntabilitas,
dan citra publik pendidikan. Kebijakan teroboson yang selama
ini dilaksanakan akan
tetap diteruskan menjadi
kebijakan strategis
pembangunan pendidikan pada
masa mendatang, yaitu
pada periode 2010-2014 dengan fokus kebijakan (Renstra
Depdiknas Tahun 2010-2014) sebagai berikut.
1.
Reformasi Pendanaan
Pendidikan
Dalam periode
pembangunan 2005-2009, reformasi
pendanaan pendidikan telah menghasilkan terobosan
penting yang meliputi
program Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
BOS buku, Bantuan
Khusus Murid (BKM),
dan beasiswa dari
SD hingga perguruan tinggi
yang bertujuan mendukung
penyediaan dana pendidikan bagi peserta
didik, khususnya bagi
masyarakat miskin atau
yang berkekurangan serta
peningkatan mutu melalui Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM).
2.
Reformasi Pendidik
dan Tenaga Kependidikan
Perluasan dan
pemerataan akses pendidikan
pada tahun 2005--2009
mengalami kendala yang diakibatkan
masalah distribusi guru
yang tidak merata
di beberapa wilayah di Indonesia. Sesuai
dengan PP No. 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pada
tahun periode 2010--2014, Depdiknas akan
melakukan redistribusi guru antarprovinsi sesuai dengan kewenangannya untuk
memastikan ketersediaan rasio guru dengan siswa maksimal yang disyaratkan oleh
Standar Nasional Pendidikan.
3.
Penerapan TIK untuk e-Pembelajaran dan e-Administrasi
Pendayagunaan
TIK diyakini dapat menunjang upaya peningkatan dan pemerataan akses pendidikan,
peningkatan mutu, relevansi,
dan daya saing
pendidikan, serta tata kelola,
akuntabilitas, dan citra
publik pendidikan. Penerapan
TIK untuk pendidikan oleh
Departemen Pendidikan Nasional
dapat memperbaiki akses
dan mutu serta sekaligus meningkatkan efektivitas tata kelola.
4.
Pembangunan dan
Rehabilitasi Prasarana Pendidikan
Sebagai upaya
peningkatan akses dan
mutu pendidikan serta
menjamin terpenuhinya hak warga
negara atas pendidikan,
pemerintah berusaha
memperbanyak dan meningkatkan
kualitas berbagai prasarana
fisik pendidikan, antara lain
rehabilitasi prasarana pendidikan,
pengadaan ruang kelas
dan unit sekolah baru, serta
pembangunan perpustakaan dan laboratorium.
5.
Penyediaan Sarana
Pendidikan
Selain ketersediaan
dan kualitas pendidik
dan tenaga kependidikan,
peningkatan mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana
pembelajaran seperti peralatan
laboratorium, alat peraga,
fasilitas teknologi informasi
dan komunikasi, buku, dan
fasilitas olahraga. Sejalan
dengan penyediaan sarana
pendidikan pada periode sebelumnya,
pada tahun 2010--2014
Depdiknas mempertahankan
penyediaan sarana pendidikan yang bersifat massal, yaitu (a) penyediaan
peralatan dan bahan habis pakai untuk laboratorium IPA; (b) penyediaan
peralatan TIK untuk mendukung
proses pembelajaran seperti
perangkat komputer, perpustakaan elektronik, dan
buku ajar dalam
format elektronik; (c)
penyediaan peralatan
laboratorium bahasa; (d)
penyediaan sarana olahraga
untuk mendukung peningkatan kesehatan
jasmani peserta didik;
dan (e) penyediaan
buku-buku pelajaran yang meliputi buku teks ajar dan buku pengayaan.
6.
Reformasi Perbukuan
secara Mendasar
Kebijakan perbukuan
nasional memasuki fase
baru sejak terbitnya
Permendiknas Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran yang
kemudian diamandemen dengan Permendiknas No. 2 Tahun 2008 tentang Buku.
7.
Peningkatan Mutu
dan Daya Saing
Pendidikan dengan Pendekatan Komprehensif
Depdiknas telah
mengembangkan pendekatan yang
komprehensif untuk
meningkatkan mutu, relevansi,
dan daya saing
pendidikan. Pendekatan
komprehensif ini didesain berdasarkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
yang mengamanatkan dikembangkannya Standar
Nasional Pendidikan (SNP), penyelenggaraan pendidikan
bertaraf internasional dan
berbasis keunggulan lokal, akreditasi pendidikan, dan Standar
Pelayanan Minimal (SPM).
8.
Perbaikan Rasio
Peserta Didik SMK:SMA dan Pendidikan Vokasi
Peningkatan relevansi
pendidikan merupakan kebijakan
yang ditujukan agar keluaran pendidikan
dapat lebih berorientasi
pada pemenuhan dunia
kerja serta kebutuhan dunia
usaha dan industri.
Oleh sebab itu,
relevansi proses pendidikan formal dan nonformal perlu
diarahkan agar peserta didik, baik di tingkat pendidikan menengah, terutama
kejuruan maupun di
tingkat pendidikan tinggi
agar lebih siap memasuki dunia kerja.
9.
Otonomisasi Satuan Pendidikan
Sejalan dengan
kerangka hukum reformasi
pendidikan, khususnya UU
Nomor 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum
Pendidikan, Pemerintah memberikan
otonomi kepada pemerintahan provinsi,
kabupaten, atau kota
untuk mengurusi pendidikan anak usia dini, dasar, dan
menengah secara demokratis.
10. Intensifikasi
dan Ekstensifikasi Pendidikan
Nonformal dan Informal untuk Menggapaikan
Layanan Pendidikan Kepada
Peserta Didik yang Tak Terjangkau Pendidikan Formal (Reaching The Unreached)
Bagi negara
sebesar Indonesia dengan penduduk 230 juta yang tersebar di 18.000 kepulauan dengan
distribusi pendapatan yang
belum merata dan
struktur sosial masyarakat yang
masih didominasi kelas
bawah yang miskin,
tentu tidak mungkin bagi
Pemerintah untuk memberikan
pelayanan pendidikan kepada
semua warga negaranya melalui
pendidikan formal. Oleh
karena itu, pendidikan
nonformal bagi Indonesia menjadi
sangat penting, terutama bagi mereka yang miskin yang tinggal di daerah perbatasan,
pulau terpencil, di daerah pegunungan
yang relatif terisolasi, atau daerah
lain yang masih
terisolasi karena belum
terbangunnya infrastruktur perhubungan dan
sarana publik secara
memadai dan/atau masyarakat
yang memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus.
11. Penguatan
Tata Kelola, Akuntabilitas, dan
Citra Publik Pendidikan dengan Pendekatan Komprehensif
Penguatan tata
kelola, akuntabilitas, dan
citra publik dilaksanakan
secara komprehensif dan sistematis.
Sebagai hasil dari
upaya peningkatan tata
kelola, akuntabilitas dan standar
mutu pelayanan publik,
Depdiknas telah berhasil memperoleh opini Wajar
Dengan Pengecualian (WDP)
dari BPK pada
tahun 2008 dan ditargetkan
mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian pada tahun 2010. Untuk itu perlu ada
penataan kelembagaan sebagai upaya reformasi birokrasi membentuk Departemen
Pendidikan Nasional yang ramping dan efektif serta disesuaikan dengan arah visi,
misi, tujuan, dan
sasaran yang akan
dicapai dalam Renstra
Depdiknas 2010-2014.
12. Reformasi Pembelajaran yang Mendidik dan Dialogis
Gagasan pokok
paradigma belajar aktif berlandaskan pada teori konstruktivisme dan inti teori
konstruktivisme adalah mengonstruksi makna mengenai pentingnya latar belakang
dan budaya siswa
untuk diintegrasikan ke
dalam pelaksanaan kurikulum dan
tanggung jawab belajar, terutama diemban oleh siswa.
13. Partisipasi Masyarakat di Bidang Pendidikan
UU Sisdiknas
merumuskan peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok, keluarga, organisasi
profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan. Masyarakat dapat berperan serta sebagai
sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat
pada pendidikan formal
dan nonformal sesuai
dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan
masyarakat.
14. Pendidikan Kreatif dan Kewirausahaan
Dalam mendukung
Pengembangan Ekonomi Kreatif (PEK) tahun 2010-2014, yakni pengembangan kegiatan
ekonomi berdasarkan pada
kreativitas, keterampilan, dan bakat individu untuk menciptakan daya
kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis dan
berpengaruh pada kesejahteraan
masyarakat Indonesia.
C. DESENTRALISASI
PENDIDIKAN DI DAERAH
Sejak tahun
2004 pemerintah mengeluarkan regulasi
baru berupa Undang–Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang
otonomi daerah yang
menuntut pembangunan pendidikan dioptimalkan di
daerah. Meskipun sejak
tahun 1999 rintisan
pelaksanaan desentralisasi pendidikan
di Indonesia telah dilaksanakan, yakni dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999
yang menekankan bahwa
wewenang paling besar
untuk sektor pendidikan
sejak pendidikan pra-sekolah sampai
pendidikan menengah atas
adalah urusan pemerintah kabupaten atau kota. Konsekuensi
atas hadirnya undang -undang tersebut, maka peran bupati dan walikota
diharapkan lebih kokoh dalam melaksanaan otonomi pendidikan deng an mengacu pada
empat argumen pokok dalam membuat kebijakan pendidikan, yakni: 1) peningkatan
mutu; 2) efisiensi keuangan;
3) efisien administrasi;
dan 4) perluasan
kesempatan pendidikan. Wewenang paling
besar untuk sektor
pendidikan sejak dari
pra-sekolah sampai pendidikan menengah atas merupakan urusan
pemerin tah kabupaten atau kota. Oleh karena itu, dengan daerah diberi
kesempatan membuat grand
design yang secara kontekstual
sesuai dengan kondisi wilayahnya,
diharapkan terjadi peningkatan mutu pendidikan lebih cepat dan tepat. Sejalan dengan
desentralisasi pendidikan, daerah
tingkat Kabupaten dan
Kota memiliki kewenangan untuk menggarap
pengembangan p endidikan sesuai dengan kontek, potensi, dan kebutuhan masyarakat
di daerah tersebut.
Sementara itu, penerapan
desentralisasi pendidikan
disertai dengan penataan
fungsi kelembagaan pendidikan
mulai dari Dinas Pendidikan di tingkat propinsi sebagai
pihak yang mempunyai kewenangan dalam perumus dan pelaksana kebijakan, Dinas
Pendidikan Kabupaten dan Kota sebagai operasionalisasi kebijakan dan lembaga-lembaga pendidikan
dan pelatihan sebagai
kontrol terhadap kualitas pengembangan profesionalitas pendidikan. Dalam kenyataaannya, fungsi
ini belum berjalan sebagaimana mestinya.
Hal itu dikarenakan
pemahaman dan kesiapan
sebagian besar pengelola
pendidikan di daerah terhadap konsep desentralisasi pendidikan belum memadai.
Secara
global desentralisasi merupakan kecenderungan fenomena yang sangat dominan. Tuntutan dan
kebutuhan desentralisasi pen didikan
muncul dan berkembang
sebagai bagian dari agenda
global tentang demokrati sasi dan desentralisasi pemerintahan
dalam rangka mewujudkan tata
pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu isu strategis dengan desentralisasi pendidikan
adalah perlu diupayakan
pemerintah yang dapat
memberikan pelayanan
pendidikan kepada masyarakat
di bidang pendidikan
lebih baik (Rasiyo,
2005). Desentralisasi pendidikan juga dapat dipahami secara kritis
sebagai pelepasan tanggung jawab pemerintah
pusat terhadap proses
pendidikan masyarakat dan
dinilai lebih melanggengkan proses privatisasi
pendidikan di Indonesia.
Desentralisasi pendidikan menjadi
bentuk dari penerapan neoliberalisme di
satu sisi, tetapi
di sisi lain
adalah pengurangan hak
negara terhadap intervensi yang
terlalu kuat dalam
proses pendidikan dengan
mengembalikan pada rakyat untuk
lebih berperan dalam proses pendidikan.
Ada banyak alasan
mengapa desentralisasi dipilih
oleh pemerintah pusat
dengan cara melimpahkan sebagian
urusannya ke pemerintah daerah (Agus Dwiyanto, 2005). Alasan politik, desentralisasi dapat
meningkatkan kapabilitas daerah
demi memperkuat kepentingan
daerah maupun untuk mendukung
politik d an kebijakan
nasional melalui pembangunan
proses demokrasi di lapisan grassroot. Alasan
manajemen, desentralisasi dapat
meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas publik. Alasan
kultural, desentralisasi dimaksudkan untuk memperhatikan kekhususan,
keistimewaan suatu daerah, seperti geografis, kondisi pendu duk, perekonomian,
kebudayaan. Alasan pembangunan desentralisasi dapat melancarkan formulasi dan implementasi
program untuk meningkatkan
kesejah teraan masyarakat. Pandangan
dari kacamata kepentingan
pusat, desentralisasi dapat
mengurangi kelemahan pemerintah
pusat dalam mengawasi program-programnya.
Implementasi
desentralisasi pendidikan amat
mementingkan the stakeholder society, yang oleh
Ackerman dan Alscott sebagaimana
dikutip oleh Agus
Dwiyanto, diformulasikan secara
sederhana, yakni sebagai masyarakat yang para anggotanya mempunyai kepentingan bersama
untuk membangun masyarakatnya sendiri. Terdapat lima aktor dalam the stakeholder society, yaitu: 1)
masyarakat lokal; 2) orangtua; 3)
peserta didik; 4) negara; 5) pengelola profesional pendidikan. Fungsi negara
bukan lagi sebagai
penguasa juga bukan
sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang bertujuan melestarikan kekuasaan
negara, tetapi sebagai partner yang memfasilitasi proses pendidikan yang
disepakati bersama. Tugas negara antara lain
membantu adanya standar
nasional bahkan internasional
dari lembaga-lembaga pendidikan dan
membantu daerah yang
kekurangan sumber daya
manusia dan sumber pembiayaan. Oleh
karenanya, kebijakan
desentralisasi pendidikan diyakini
dapat berdampak secara positif
dalam banyak hal.
Di antara dampak
positif yang diyakini
dapat diperoleh dari kebijakan desentralisasi pendidikan
adalah peningkatan mutu,
efisien keuangan, efisien administrasi, dan perluasan kesempatan
atau pemerataan pendidikan.
Namun realitasnya,
ketika desentralisasi pendidikan
telah diterapkan banyak menunjukkan masalah.
Temuan Rasiyo, menyebutkan adanya
beberapa masalah dalam penerapan desentralisasi pendidikan.
Paling tidak ada empat ma salah penerapan desentralisasi pendidikan yang
ditemukan. Pertama,
peraturan-peraturan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang ada belum
sepenuhnya dapat mendukung terimplementasikan paradigma dan model manajemen
partisipatif berpusat kekuatan daerah otonom. Kedua, belum semua daerah otonom memiliki persepsi, tafsir, dan
komitmen yang sama dan konstruktif untuk reformasi dan pembaharuan manajemen
pendidikan. Ketiga,
budaya birokrasi dan
pemerintahan yang berkembang selama
berlangsungnya otonomi daerah
justru sangat segregatif
dan involutif, dalam arti
hanya mementingkan kepenting an
daerah otonomnya sendiri
dan memperumit manajemen
lingkungan daerah otonom. Keempat,
masih lemahnya koordinasi dan sinergi antar daerah otonom dalam manajemen pendidikan.
Dari empat kelemahan di atas, maka Rasiyo menyimpulkan bahwa
proses penyelenggaraan pendidikan
dewasa ini telah
berlangsung secara parokial dan
involutif. Proses parokialisme
dan involusi dalam
penyelenggaraan pendidikan
tersebut kemudian menciptakan
apa yang dikenal
dengan ‘sentralisme lokal’ dan ‘regulasi
kaku’.
Berdasarkan semua
paparan di atas,
akhirnya dapat diperoleh
gambaran mengenai kompleksitas
dinamik pembangunan pendidikan di Indonesia dengan segenap variabel penentu yang saling
memiliki keterkaitan secara
kompleks, termasuk di
dalamnya adalah intensitas dinamik pelaksanaan kebijakan
desentralisasi.
PERMASALAHAN MANAJEMEN
PENDIDIKAN AKIBAT HEGOMONI BIROKRASI PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
Freire
(2007:17) kekuasaan bukan hanya merupakan cara pandang yang menjadi alternatif
dan berguna bagi para teoritisi radikal yang terperangkap dalam keputusan dan
sinimisme (memandang rendah), tetapi juga menekan bahwa kekuasaan itu selalu
diikuti dengan pertentangan, ketegangan dan kontradiksi dalam berbagai
institusi sosial, seperti sekolah dimana kekuasaan seringkali dianggap sebagai
kekuatan positif yang resisten. Akhirnya, kekuasaan sebagai sebuah bentuk
dominasi tidak dipaksakan pemerintah secara sederhana melalui tangan-tangannya,
seperti polisi, tentara, teknologi dan ideologi yang secara bersama-sama
menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi budaya yang berfungsi
secara aktif untuk masyarakat diam.
Masalah
pendidikan adalah salah satu masalah yang bersifat universal. Semua manusia tanpa
kecuali sangat berkepentingan terhadap pendidikan. Bagi anak dan remaja,
pendidikan merupakan suatu hak yang harus diterima baik melalui sekolah (school education) maupun luar sekolah (out of school education). Bagi orang tua
anak, pendidikan merupakan kewajiban yang harus
diberikan kepada anaknya
dalam wujud pelayanan,
bim bingan, dan hal-hal
lain yang mendukung pemuasan hak
anak. Bagi orang dewasa, pendidikan juga merupakan hak, dalam arti hak
untuk menjalani pendidikan
sepanjang hayat. Dengan
demikian, masalah-masalah kehidupan
yang menyangkut dunia pendidikan merupakan ma salah yang bersifat publik.
Bagi
masyarakat kelompok marginal seperti golongan miskin maupun kaum pedalaman akan mengalami
kesulitan dalam memperoleh
kesempatan pendidikan secara
memadahi. Mereka memiliki keterbatasan
dalam mencari layanan
pendidikan yang bermutu dan
mudah dijangkau secara geografis. Sehingga yang terjadi, kelompok miskin
dan kaum pedalaman ini hanya memperoleh layanan pendidikan yang kurang bermutu
dan kurang terjangkau dari segi geografis.
Dalam konteks
ini, termasuk dalam
kelompok masyarakat marginal
adalah golongan perempuan. Banyak
perempuan di banyak daerah, mengalami pembatasan-pembatasan. Tidak hanya pada
jaman Kartini perempuan sering hanya diidentikkan dengan masalah dapur, sumur, dan
kasur (hanya menenak nasi,
mencuci, dan sebagai
teman tidur). Pada
jaman modern sekalipun, perempuan
sering dilecehkan dan
dikekang dalam banyak
segi termasuk dalam memperoleh kesetaraan
pendidikan. Sedangkan
masyarakat yang masuk
lapisan menengah dan lapisan
atas, banyak diuntungkan untuk memperoleh dan memilih layanan pendidikan yang disukai. Mereka
bisa ‘membeli’ lembaga
pendidikan yang disukai
untuk dimasuki, termasuk pada lembaga-lembaga pendidikan
(sekolah dan universitas) yang dikenal ‘favorite’.
Fenomena
hegomoni dualistik di atas menunjukkan adanya masalah berkaitan dengan
kesenjangan pendidikan antara kelas dan kelompok sosial atas dengan kelompok
sosial bawah, antara desa dengan
kota, antara laki-laki
dengan perempuan, antara
pusat dan daerah.
Pada satu pihak ada
kelompok masyarakat yang
diuntungkan, sedangkan di pihak
lain ada golongan
yang kurang diuntungkan.
Persoalan
lain dalam dunia pendidikan adalah menyangkut kendala pluralisme yang amat kompleks
dari masyarakat Indonesia. Sehingga, sejak tanggal 1 Januari 2001 Indonesia
telah melakukan terobosan dengan
melaksanakan otonomi daerah
untuk masing-masing Daerah Tingkat II.
Konsekwensi dari teroboson
tersebut adalah beberapa
segi dari pengelolaan pendidikan juga mengalami otonomi
daerah. Hal ini secara positif bisa mendekatkan problem pendidikan terhadap
kondisi multikultural bangsa Indonesia.
Lebih
jauh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
Pembagian Urusan Pemerintah, Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota disebutkan tentang pembagian urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Dan pada pasal tiga (3)
disebutkan bahwa urusan
pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah disertai dengan
sumber pendanaan, pengalihan
sarana dan prasarana, serta
kepegawaian.
Semua
persoalan yang telah disebut di atas merupakan persoalan yang bersifat publik. Sehingga bila
sebuah perumusan kebijakan
yang ditujukan untuk
memecahkan masalah-masalah krusial
seperti pendidikan sebagaimana
disebut di atas,
maka tergolong sebagai hegomoni kebijakan antara dualisme
birokrasi. Yakni kebijakan yang
pada dasarnya mengatur
hak dan kewajiban anggota masyarakat, mengatur
hubungan kelompok dan
organisasi dalam masyarakat,
termasuk di dalamnya mengatur
cara kerja pejabat
pemerintah (negara) dalam
bidang pendidikan. Kebijakan
semacam ini bersifat mengikat sasaran yang terkena kebijakan ini.
D. SOLUSI TERHADAP
MASALAH MANAJEMEN PENDIDIKAN AKIBAT HEGOMONI BIROKRASI PEMERINTAH PUSAT DAN
DAERAH
Peningkatan mutu
pendidikan merupakan langkah
strategis dalam pengembangan sumberdaya
manusia. Untuk itu,
pertama-tama, kebutuhan
tenaga pendidikan harus
tercukupi, dan kualitas
tenaga pendidik perlu
terus ditingkatkan baik dari
segi kompetensi, sikap-mental
dan etika profesi. Peningkatan kinerja
mereka kiranya akan
dapat diraih bersamaan
dengan peningkatan
penghargaan dan kesejahteraan
mereka. Peningkatan mutu
guru dilakukan melalui peningkatan
mutu pendidikan guru
serta membuka peluang bagi sarjana umum untuk menjadi guru
melalui sertifikasi.
Kedua, sarana-prasarana pendidikan
harus disediakan dan
diperbaiki. Penyertaan
masyarakat dalam hal
ini kiranya akan
memperkuat rasa memiliki dan
memperkuat kepeduliannya terhadap
pendidikan. Masyarakat pada umumnya
melihat pendidikan sebagai
(satu-satunya) jalan untuk
melakukan mobilitas vertikal. Dengan kebutuhan yang besar dan suplai
pendidikan bermutu yang terbatas, telah terjadi distorsi besar dalam sistem
pendidikan kita. Apresiasi masyarakat
atas pendidikan yang
bermutu harus ditingkatkan,
karena masyarakatlah yang akan
menjadi pengendali mutu
pendidikan. Peningkatan apresiasi
pada pendidikan akan meningkatkan apresiasi pada guru dan tenaga pendidik.
Ketiga, kualitas
dan efektivitas manajemen
pendidikan harus
dikembangkan. Hal itu
dapat dilakukan melalui
pemberian otonomi dan pendelegasian otoritas
penyelenggaraan pendidikan dengan
menempatkan pemerintah
sebagai fasilitator, motivator,
dan dinamisator. Mutu
dan relevansi pendidikan harus
dikembangkan dan ditingkatkan
berdasar kondisi lingkungan spesifik masing-masing
perguruan.
Keempat, harus
dilakukan reorientasi pendidikan.
Pembelajaran tidak hanya merupakan
proses pengembangan kompetensi
tetapi harus menjadi pembelajaran yang mencerdaskan dan
membebaskan agar dapat menghasilkan lulusan
yang dapat berfungsi
dan berperan positif
dalam masyarakat madani. Untuk
itu, pendidikan harus
dikembangkan berdasarkan pada
martabat dan komitmen terhadap
nilai-nilai kebangsaan untuk membangun insan yang tekun, teliti, dan
optimis. Lebih dari
itu, reorientasi pendidikan
diperlukan untuk mengakhiri kecenderung
sebagian warga masyarakat
yang lebih menghargai gelar atau ijazah dari pada
kompetensi. Orientasi tersebut harus diubah menjadi orientasi pada kompetensi,
kecakapan, kecerdasan dan keluhuran budi.
Kinerja sistem
pendidikan perlu ditingkatkan
dengan orientasi pada kemampuan mengatasi masalah kebangsaan.
Ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang dikembangkan oleh perguruan
tinggi haruslah membumi dan dapat
memenuhi kebutuhan serta
menjawab permasalahan bangsa
dengan memanfaatkan sumberdaya dan
kearifan lokal tanpa
meninggalkan wawasan global.
Perguruan tinggi juga mengemban misi penting untuk menjadi kekuatan moral dan
sumber pemikiran akan solusi permasalahan bangsa.
Semua usaha
di atas tentu
saja memerlukan pendanaan
yang tidak sedikit. Oleh
karena itu, komitmen
pemerintah untuk berinvestasi
pada pendidikan sebagai solusi masa depan bangsa harus segera diwujudkan
melalui pengalokasian 20% APBN
untuk pendidikan, di
luar anggaran pendidikan kedinasan dan
gaji guru. Untuk
lebih memperkuat dukungan
pengembangan pendidikan,
maka sangat diperlukan
kemitraan yang erat
antara pemerintah,
pemerintah daerah, dan
swasta dalam menyelenggarakan pendidikan
yang bermutu. Akses dan
ekuitas pada pendidikan
yang berkualitas, terutama pendidikan dasar dan menengah, harus
terus ditingkatkan. Untuk meningkatkan daya saing bangsa, maka pendidikan
unggulan bertaraf unggulan perlu dikembangkan
di tiap daerah
dengan penekanan yang
relevan dengan kebutuhan dan ciri
khas daerah.