Guru SMA Negeri Leksula/Mahasiswa Program Magister Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang
Jumat, 16 November 2012
JANES PELAMONIA: PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MALUKU (Sebuah Telaah Untu...
JANES PELAMONIA: PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MALUKU (Sebuah Telaah Untu...: Dalam era otonomi, sebenarnya terbuka peluang besar untuk membangun dunia pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini ter...
Kamis, 15 November 2012
KISAH DAN FAKTA MENARIK: Biaya Pendidikan Calon Guru Ditanggung hingga Lulu...
KISAH DAN FAKTA MENARIK: Biaya Pendidikan Calon Guru Ditanggung hingga Lulu...: Ilustrasi : Guru sedang mengajar Jakarta - Mulai tahun 2013, pemerintah bakal membatasi jumlah penerimaan mahasiswa baru di lembaga pen...
COMPETENCY BASED MODEL DALAM PENGEMBANGAN KURKULUM
A. PENGERTIAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Ada berbagai definisi mengenai kompetensi.
Sudarsono, mengutip berbagai sumber, memberikan definisi kompetensi. Kompetensi
adalah kemampuan melaksanakan tugas-tugas atau berkarya di bidang keahlian
tertentu. Selanjutnya Jones (2000), memberikan definisi kompetensi sebagai
berikut the specification of knowledge and skill and the application of that
knowledge and skill to the standards or learning outcomes (Jones, M.J.
2000. Curriculum Development. EEDP Project, DGHE). Mulyana (2000)
menyatakan bahwa kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan,
nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Hamlin, (1994) menyatakan bahwa competency is a statement which describes
integrated demonstration of a cluster or related skills and attitude that are
measurable and observable necessary to perform a job independently. Menurut
Tillman (1996), competency consists of knowledge, skill, and attitude needed to
perform an ability to do a certain job/profession. Gonzi (1997) dan Heger
(1995), memberikan definisi kompetensi lebih luas lagi, yaitu meliputi berbagai
kemampuan antara lain yang melandasi kepribadian, penguasaan ilmu (know why)
dan keterampilan (know how), berkarya (what to do), menyikapi
dan berprilaku dalam berkarya sehingga dapat mandiri dalam menilai dan
mengambil keputusan secara bertanggungjawab (how to be a responsible person),
dan hidup bermasyarakat dengan menerapkan kerja sama, saling menghormati dan
menghargai nilai-nilai pluralisme dan perdamaian (how to live together). Menurut
KEPMENDIKNAS No. 045/U/2002, kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas,
penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap
mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan
tertentu.
Kompetensi
adalah perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang
direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kompetensi yang diartikan
sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasi oleh seseorang
yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan
perilaku-perilaku kognitif, efektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Gordon menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep
kompetensi sebagai berikut:
1. Pengetahuan
(knowledge) yaitu kesadaran dalam bidng kognitif.
2. Pemahaman
(understanding) yaitu kedalaman kognitf, dan afektf yang dimiliki oleh
individu.
3. Kemampuan
(skill) adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas
atau pekerjaan yang dibebankan padanya.
4. Nilai
(value) adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara
psikologis telah menyatu dalam diri seseorang.
5. Sikap
( attitude) yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau
reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar.
6. Minat
(interest) adalah kecendrungan seseorang untuk melakukan sesuatu
perubahan.
Kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) dapat diartikan sebagai suat konsep kurikulum yang menekankan
pada pengembangan kemampuan melakuakn (kompetnsi) tugas-tugas dengan standar
performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik,
berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat
peserta didik, agar dapat melakuakn sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketetapan
dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab.
Secara umum kompetensi
diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Sedangkan Kurkikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai pebelajar, penilaian, kegiatan
belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan
kurikulum sekolah (Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, 2002:3).
Paling tidak terdapat
tiga landasan teoritis yang mendasari kurikulum berbasis kompetensi. Pertama,
adanya pergeseran dari pembelajaran kelompok ke arah pembelajran
individual. Dalam pembelajaran individual setiap peserta didik dapat belajar
sendiri, sesuai dengan cara dan kemempuan masing masing, serta didak bergantung
kepada orang lain. Kedua, perkembangan konssep belajar tuntas atau
belajar sebagai penguasaan adalah suatu falsafah pembelaajaran yang tepat,
semua peserta didik dapat mempelajari semua bahan yang diberikan dengan hasil
yang baik. Ketiga, pendifinisisan kembali tentang bakat. Setiap peserta
didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, jika diberikan waktu
yang cukup. Dalam hal ini perbedaan peserta didik yang pandai dan kurang pandai
hanya terdapat pada waktu, orang yang kurang pandai memerlukan waktu yang agak
panjang di bandingkan dengan peserta didik yang pandai.
B. MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Model pengembangan
kurikulum berbasis kompetensi dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu :
(1) pendekatan top-down (the
administrative model) dan (2) pendekatan the grass root model.
1. The administrative model
Model ini merupakan
model pengembangan kurikulum yang paling lama dan paling banyak digunakan.
Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan
menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, membentuk
suatu Komisi atau Tim Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari
pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu,
dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan
konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam
pengembangan kurikulum. Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri
dari para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan
tinggi, dan guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang
sesungguhnya yang lebih operasional menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan
dasar yang telah digariskan oleh Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan
yang lebih operasional, memilih sekuens materi, memilih strategi pembelajaran
dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi
guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji
ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang
kompeten.
Setelah mendapatkan
beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi
tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas,
maka model ini disebut juga model Top-Down.
Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah
berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2. The grass root model
Model pengembangan ini
merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum,
bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model
pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum
yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan
berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model
pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau
keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum.
Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen
kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan
seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat
dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan,
pengembangan kurikulum model grass root
tampaknya akan lebih baik.
Hal itu didasarkan atas
pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari
pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena
itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.
Pengembangan kurikulum
yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi
tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk
seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang
bersifat desentralistik dengan model
grass roots-nya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu
dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia
yang lebih mandiri dan kreatif.
Terkait dengan
pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung
dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati
demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus
ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia
di sekolah.
C.
PRINSIP-PRINSIP
PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi harus mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut ini (Arifin,
2011:157).
1. Keimanan,
nilai, dan budi pekerti luhur. Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat
berpengaruh pada sikap dan arti kehidupannya. Keimanan, nilai-nilai, dan budi
pekerti luhur perlu digali, dipahami, dan diamalkan oleh peserta didik.
2. Penguatan
integritas nasional yang dicapai melalui pendidikan yang memberikan pemahaman
tentang masyarakat Indonesia yang majemuk dan kemajuan peradaban bangsa
Indonesia dalam tatanan peradaban dunia yang multikultural dan multibahasa.
3. Keseimbangan
etika, logika, estetika, dan kinestetika. Keseimbangan pengalaman belajar
peserta didik melalui etika, logika, estetika, dan kinestetika sangat
dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum dan hasil belajar.
4. Kesamaan
memperoleh kesempatan. Penyediaan tempat yang memberdayakan semua peserta didik
untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sangat diutamakan.
Seluruh peserta didik dari berbagai kelompok seperti kelompok yang kurang
beruntung secara ekonomi dan sosial yang memerlukan bantuan khusus, berbakat,
dan unggul berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan
kecepatannya.
5. Abad
pengetahuan dan teknologi informasi. Kemampuan berpikir dan abad belajar dengan
mengakses, memilih, dan menilai pengetahuan untuk mengatasi situasi yang cepat
berubah dan penuh ketidakpastian merupakan kompetensi penting dalam menghadapi
abad ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.
6. Pengembangan
keterampilan hidup. Kurikulum perlu memasukan unsur keterampilan, sikap, dan
perilaku adaptif, kooperatif dan kompetif dalam menghadapi tantangan dan
tuntutan hidup sehari-hari secara efektif. Kurikulum juga perlu
mengintegrasikan unsur-unsur penting yang menunjang kemampuan untuk bertahan
hidup.
7. Belajar
sepanjang hayat. Pendidikan berlanjut, sepanjang hayat hidup manusia untuk
mengembangkan, menambah kesabaran, dan belajar memahami dunia selalu berubah
dalam berbagai bidang. Kemampuan belajar sepanjang hayat dapat dilakukan
melalui pendidikan formal dan non-formal. Serta pendidikan alternatif yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
8. Berpusat
pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif. Upaya
memandirikan peserta didik untuk belajar, bekerja sama, dan menilai diri
sendiri sangat perlu diutamakan agar peserta didik mampu membangun pemahaman
dan pengetahuan dalam rangka pencapaian upaya tersebut.
D.
KOMPONEN
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
1.
Penilaian
Berbasis Kelas
Penilaian
berbasis kelas merupakan suatu kegiatan pengumpulan informasi tentang proses
dan hasil belajar siswa yang dilakukan oleh guru yang bersangkutan sehingga
penilaian tersebut akan “mengukur apa yang hendak diukur” dari siswa. Salah
satu prinsip penilaian berbasis kelas yaitu, penilaian dilakukan oleh guru dan
siswa. Hal ini perlu dilakukan bersama karena hanya guru yang bersangkutan yang
paling tahu tingkat pencapaian belajar siswa yang diajarnya. Selain itu siswa
yang telah diberitahu oleh guru tersebut bentuk/cara penilaiannya akan berusaha
meningkatkan prestasinya sesuai dengan kemampuannya.
Prinsip
penilaian berbasis kelas lainnya yaitu: tidak terpisahkan dari KBM, menggunakan
acuan patokan, menggunakan berbagai cara penilaian (tes dan non tes), mencerminkan
kompetensi siswa secara komprehensif, berorientasi pada kompetensi, valid,
adil, terbuka, berkesinambungan, bermakna, dan mendidik.
Penilaian
tersebut dilakukan antara lain meliputi: kumpulan kerja siswa (portofolio),
hasil karya (product), penugasan (project), unjuk kerja (performance)
dan tes tertulis (paper and pencil test).
Setelah
melakukan serangkaian penilaian yang sesuai dengan prinsip-prinsip di atas,
maka orang tua siswa akan menerima laporannya secara komunikatif dengan menitik
beratkan pada kompetensi yang telah dicapai oleh anaknya di sekolah.
2.
Kegiatan
Belajar Mengajar
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan proses aktif bagi
siswa dan guru urituk mengembangkan potensi siswa sehingga mereka akan “tahu”
terhadap pengetahuan dan pada akhirnya “mampu” untuk melakukan sesuatu.
Prinsip
dasar KBM adalah memberdayakan semua potensi yang dimiliki siswa sehingga
mereka akan mampu meningkatkan pemahamannya terhadap fakta/konsep/prinsip dalam
kajian ilmu yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuannya untuk
berpikir logis, kritis, dan kreatif. Prinsip dasar KBM lainnya yaitu: berpusat
pada siswa, mengembangkan kreativitas siswa, menciptakan kondisi menyenangkan
dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan
pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui berbuat. Prinsip KBM di
atas akan mencapai hasil yang maksimal dengan memadukan berbagai metode dan
teknik yang memungkinkan semua indera digunakan sesuai dengan karakteristik
masing-masing pelajaran.
3.
Pengelolaan
Kurikulum Berbasis Sekolah
Salah
satu prinsip implementasi KBK adalah Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah.
Prinsip ini perlu diimplementasi untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam
merencanakan, melaksanakan, dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai
dengan kondisi dan aspirasi mereka. Prinsip Pengelolaan Kurikulum Berbasis
Sekolah ini mengacu pada “kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam
pelaksanaan”. Yang dimaksud dengan “kesatuan dalam kebijaksanaan” ditandai dengan
sekolah-sekolah menggunakan perangkat. dokumen KBK yang “sama” dikeluarkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan “Keberagaman dalam pelaksanaan”
ditandai dengan keberagaman silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah
masing-masing sesuai dengan karakteristik sekolahnya.
4.
Hasil Belajar
Lebih lanjut, dari
berbagai hasil belajar sedikitnya dapat diidentifikasikan enam karakteristik
kurikulum berbasis kompetensi, yaitu: (a)sistem belajar dengan modul, (b)
menggunakan keseluruhan sumber belajar, (c) pengalaman lapangan (d) strategi
individual personal (e) kemudahan belajar, dan (f) belajar tuntas.
a.
Sistem belajar dengan Modul
KBK
menggunakan modul sebagai sistem pembelajaran. Dalam hal ini modul merupakan
paket belajar mandiri yang meliputi serangkaian pengalaman belajar yang
direncanakan dan dirancang secara sistematis untuk membantu peserta didik
mencapai tujuan belajar. Modul adalah suatu proses pembelajaran menegnai suatu
satuan bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, oprasional, dan terarah
untuk digunakan oleh peserta didik disertai dengan pedon penggunakan untuk para
guru. Sebuah modul adalah pernyataan satuan pembelajaran dengan tujuan-tujuan,
protes dan aktivitas belajar yang memungkinkan peserta didik memperoleh
kompetensi-kompetensi yang belum dikuasai dari hasi protes, dan mengevaluasi
kompetensi yang mengukur keberhasilan belajar.
Pembelajaran
utama sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)
Setiap modul memberikan informasi dan
memberikan petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan
oleh seseorang peserta didik, bagaimana melakukannya dan sumber belajar apa
yang harus digunakan
2)
Modul merupakan pembelajaran individual,
sssehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik pesrta
didik. Dalam hal ini setiap modul harus: (1) memungkinkan pesrta didik
mengalami kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta
didik mengukur kemajuan belaajr yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan
peserta didik pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
3)
Pengalaman belajar dalam modul
disediakan untuk membantu peserta didik mmencapai tujuan pembelajaran seefektif
dan seefesien mungkin, serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan
pembelajaran secara aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tetapi lebih
dari itu, modul memberikan kesepatan untuk bermain peran, simulasi, dan
berdiskusi.
4)
Materi yang disajikan secara logis dan
sistematis sehingga peserta didik dapat mengetahui kapan memualai dan kapan
mengakhiri suatu modul dan tidak menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang harus
dilakukan atau dipelajari.
5)
Setiap modul memiliki mekanisme untuk
mengukur pencapaiaan tujuan belajar peserta didik, terutama untuk memberikan
umpan balik bagi peserta didik dalam mencapai ketentuan belajar. Pengukuran ini
juga memerlukan sesuatu keriteria atau setandart kelengkapan modul.
b.
Menggunakan keseluruhan sumber belajar
Suatu
faktor yang menyebutkan rendahnya kualitas pembelajaran antara lain belum
dimanfaatkannya sumber belajar secara maksimal, baik oleh guru maupun oleh
peserta didik. Dalam kurikilum berbasis kompetensi (KBK) guru tidak lagi
berperan sebagai aktor/aktris utama dalam proses pembelajaran, karena
pembelajaran dapat dilakukan dengan memperdaya gunakan aneka ragam sumber belajar.
Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal peserta didik dituntut tidak hanya
mengandalkan diri dari apa yang terjadi di dalam kelas tetapi harus mampu
memanfaatkan sumber belajar dengan makasimal.
Secara
sederhana sumber belajar dapat dirumuskan sebagai segala sesuatu yang dapat
memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam memperoleh sejumlah informasi,
pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, dalam proses belajar mengajar. Dari
beberapa sumber belajar yang ada dan mungkin dikembangkan dalam pembelaajran
pada garis besar dpat dikelompokkan sebagai berikut:
Ø Manusia,
yaitu orang yang menyampaikan pesan secara langsung
Ø Bahan,
yaitu suatu yang mengandung pesan pembelajaran.
Ø Lingkungan,
yaitu ruang dan tempat dimana sumber-sumber dapat berinteraksi dengan peserta
didik.
Ø Alat
dan peralatan, yaitu sumber belajar untuk produksi atau memainkan sumber-sumber
yang lain.
Ø Aktivitas,
yaitu sumber belajar yang biasanya merupakan kombinasi antara suatu teknik
dengan sumber lain untuk mempermudah belajar.
c.
Pengalaman lapangan
Kurikulum berbasis kompetensi lebih menekankan
kepada pengalaman lapangan untuk mengakrabkan hubungan antara guru dan peserta
didik keterlibatan. Di samping itu, mereka juga meningkatkan pengetahuan,
pemahaman, dalam ruang lingkup yang lebih luas untuk menunjang profesinya
sebagai guru. Pengalaman lapangan dapat secara sistematis melibatkan masyarakat
dalam pengembangan program, aktivitas, dan evaluasi pembelajaran. Pengalaman
lapanagn dapat melibatkan tim guru dari berbagai disiplin ilmu dan antar disiplin,
sehingga memungkinkan terkerakhannya kekuatan dan minat peserta didik terhadap
pelaksanaan pembelajaran, dan terlindunginya guru terhadap rasa tidak sengan
kepada peserta didik.
d.
Strategi individual personal
KBK mengusahakan strategi belajar individual personal.
Belajar individuala adalah belajar berdasarkan tempo belajar peserta didik
sedangkan belaajr personal adalah interaksi edukatif berdasarkan keunikan
peserta didik, bakat, minat, dan kemampuan.
e.
Kemudahan belajar
Kemudahan belajar dalam kurikulum berbasis
kompetensi diberikan melalui kombinasi antara pembejaran individual personal
dengan pengalaman lapangan dan pembelajaran secara tim. Hal tersebut dilakuakn
melalaui berbarapa alat komunikasi yang sudah dirancang. Berbagai media
komunikasi tersebut perlu didayagunakan secara optimal untuk memberikan
kemudahan belajar kepada peserta didik dalam menguasai dan memeahami kompetensi
tertentu.
f.
Belajar tuntas
Belajar
tuntas merupakan setrategi pembelajaran yang dapat dilaksanakan di dalam kelas,
dengan asumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat peserta akan mampu belajar
dengan baik dan memperoleh belajar secara maksimal, terhadap seluruh bahan yang
akan di pelajarai. Agar semua peserta didik memperoleh hasil secara maksimal,
pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan akan
tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam
mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melakukan evaluasi dan memberi
bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
E.
IMPLEMENTASI
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
1.
Koordinasi
dan Legitimasi
Keberhasilan suatu inovasi pendidikan, khususnya inovasi dalam pengenalan
pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat bergantung pada seberapa jauh
dimensi koordinasi dapat dilakukan secara efektif dan komunikatif antar “stakeholder”
yang terkait. Beberapa “stakeholder” yang terkait dalam pelaksanaan dan
pelaksanaan kurikulum itu meliputi :
a.
Lembaga Pendidikan Guru
pra jabatan (pre-service trainning institution) seperti LPTK, IKIP,
Universitas, STKIP.
b.
Institusi Pembina Guru
dalam jabatan (In-service Trainning Program) seperti PPPG, BPG,
Direktorat Dikdasmen, Dinas Pendidikan.
c.
Pusat Kurikulum Pusat
Perbukuan Sekolah (guru & Kepala sekolah & Pengurus Yayasan) Orang tua
d.
Siswa
e.
Masyarakat seperti
pemerhati pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat, parpol, organisasi non
partisipan
f.
Dewan Pendidikan Komite
Sekolah
g.
Perguruan Tinggi Kelompok
Asosiasi
Prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam koordinasi adalah “kesamaan
visi” dan “kesamaan langkah” dalam memberikan bantuan pada sekolah (guru dan
kepala sekolah) sehingga sekolah tidak kebingungan ketika akan memulai untuk
menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dalam kondisi ini, sekolah (guru dan
Kepala Sekolah) harus berada pada titik pusat “network” yang
simpul-simpulnya menyertakan “stakeholder” lain yang berkepentingan
dengan sekolah baik kepentingan pembinaan maupun kepentingan pemanfaatannya. Beberapa
ciri koordinasi efektif itu antara lain
a.
Semua keputusan“stakeholder”
mengalir cepat ke “stakeholder” lain yang ada dalam jaringan (network
system)
b.
Semua kegiatan “stakeholder”
untuk membina sekolah harus ada dalam payung.
c.
visi yang jelas dan telah
disepakati bersama
d.
Satu masalah dalam simpul
jaringan harus dirasakan dan dipecahkan oleh semua “stakeholder” yang
terkait
e.
Tersedianya laporan
tertulis yang lengkap dan rinci oleh masingmasing “stakeholder”
f.
Semua keputusan, kegiatan
“stakeholder” tidak melemahkan profesionalisme guru/kepala sekolah dan
sekolah.
Semua bentuk/gagasan pembinaan untuk sekolah perlu memenuhi
empat prinsip manajemen, yaitu P (Planning), O (Organizing), A (Actuating),
dan C (Controlling) Khusus yang berkaitan dengan “legalisasi” pada
penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah kepastian “kapan launching KBK
dimulai” dan “bagaimana tahapantahapan implementasinya” serta “apa
strategi/pola desiminasinya”. Semua ini telah ditetapkan dalam satu keputusan
menteri. Penetapan ini akan berimplikasi pada pola penyempurnaan pendidikan
sekolah di sekolah/perguruan tinggi seperti tentang sistem ujian akhir, sistem
penerimaan siswa/mahasiswa baru, mekanisme penyediaan dana, atau
pada mekanisme sosialisasi, baik sosialisasi dari tingkat pusat ke daerah atau
dari tingkat daerah ke sekolah.
2. Prinsip
Implementasi terhadap komponen kurikulum
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah berjalan
sejak tahun 2001 pada beberapa sekolah yang dijadikan mini pilot. Impelementasi
KBK merupakan salah satu bagian penting untuk mendapatkan masukan dalam rangka
penyempurnan KBK baik dari aspek keterbacaan, keluasan, kedalaman, dan
keterlaksanaannya di lapangan. Implementasi yang telah dilakukan tersebut
meliputi beberapa prinsip yaitu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM); Penilaian
Berbasis kelas; dan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah.
MANAJEMEN PENDIDIKAN: Manajemen Sarana Prasarana dalam Sistem Persekolah...
MANAJEMEN PENDIDIKAN: Manajemen Sarana Prasarana dalam Sistem Persekolah...: A. Pengertian d an Tujuan Manajemen Sarana d an Prasarana . Manajemen berasal dari kata To Manage yang artinya mengatur. Peng...
Rabu, 14 November 2012
Landasan Filosofis Pendidikan Implikasi dalam Praktek Manajemen Pendidikan
A.
Filsafat, Ilmu, dan Ilmu Pendidikan
Filsafat
dalam arti sekarang mulai dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Para tokoh filsafat
pada waktu itu adalah Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan
Aristoteles (384-322 SM). Socrates mengajarkan bahwa manusia harus mencari
kebenaran dan kebijakan dengan cara berpikir secara dialektis. Plato mengatakan
kebenaran hanya ada di dalam ide yang bisa diselami dengan akal, sedangkan
Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari
melalui pengalaman para indra.
Filsafat membahas sesuatu dari
segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah
kebenaran menyeluruh yang sering dipertetangkan dengan kebenaran ilmu yang
sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa
dinikmati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya
sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung es, kita hanya mampu melihat
yang ada di atas permukaan laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami
sampai ke dasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui
pikiran dan renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat
cabang filsafat yaitu metafisika, epistemologi, logika, dan etika, dengan
kandungan materi masing-masing sebagai berikut:
1.
Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang segala
susuatu yang terdapat di dalam alam ini. Dalam kaitannya dengan manusia, ada
dua pandangan yaitu: (Callahan, 1983)
a. Manusia pada
hakikatnya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa dan roh, yang lain adalah
semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk
mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum Idealis,, Skolastik, dan
beberapa Realis.
b. Manusia
adalah organisme materi. Pandangan ini dianut kamu Naturalis, Materialis,
Eksperimentalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup.
Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi menyenangkan.
2.
Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang
pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut:
a. Ada lima
sumber pengetahuan yaitu:
(1)
Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks
yang baik, rumus, dan tabel.
(2)
Common sense, yang ada pada adat dan tradisi.
(3)
Intuisi yang berkaitan dengan perasaan.
(4)
Pikiran yang menyimpulkan hasil pengalaman.
(5)
Pengalaman yang terkontrol yang mendapatkan
pengetahuan secara ilmiah.
b. Ada empat
teori kebenaran yaitu:
(1)
Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsisten dengan
kebenaran umum.
(2)
Koresponden, susuatu akan benar bila ia tepat dengan
fakta yang dijelaskan.
(3)
Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensi
memberi manfaat bagi kehidupan.
(4)
Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak
ada kebenaran yang lengkap.
3.
Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara
manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan
manusia bisa berpikir dan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan benar.
4.
Etika adalah filsafat yang menguraikan tentang
perilaku manusia. Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok
pemikiran dalam filsafat ini. Filsaffat etika sangat besar mempengaruhi
pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangkan perilaku manusia, antara
lain afeksi peserta didik.
Definisi kata
filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling
tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu
filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak
mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita
sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan
tidak tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya
dengan realitas hidup kita.
Jujun (1985) mengemukakan sifat ilmu
pada taraf peralihan yang dibedakannya dengan sifat ilmu ang sudah benar-benar
mapan. Ketika ilmu baru muncul, baru terlepas dan filsafat sebagai induknya,
ilmu masih punya pertautan dengan filsafat. Pada taraf ini ilmu menggunakan
norma-norma filsafat, yaitu norma-norma tentang bagaimana seharunya.
Penemuan-penemuan ilmiah masih dikonfirmasikan kepada norma-norma filsafat.
Pada taraf selanjutnya, ilmu
meyatakan dirinya otonom, ia bebas sama sekali dengan konsep-konsep dan
norma-norma berdasarkan apa adanya di lapangan. Ilmu mengemukakan hakikat alam
beserta isinya sebagaimana adanya, bebas dari norma-norma yang diciptakan
manusia.
Dalam buku yang lain, Jujun (1981)
membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua bagian yang saling berkaitan satu
dengan lain. Tingkat proses perkembangan yang dimaksud adalah:
1.
Tingkat empiris adalah ilmu yang baru ditemukan di
lapangan. Ilmu yang masih berdiri sendiri-sendiri, baru sedikit bertautan
dengan penemuan lain yang sejenis. Pada tingkat ini wujud ilmu belum utuh,
masing-masing sesuai dengan misi penemuannya karena belum lengkap.
2.
Tingkat penjelasan atau teoritis, ialah ilmu yang
sudah mengembangkan suatu struktur teoritis. Dengan struktural ini ilmu-ilmu
empiris yang masih terpisah dicari kaitannya satu dengan yang lain dan
dijelaskan sifat kaitannya itu. Dengan cara ini struktur berusaha mengintegrasikan
ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu pola yang berarti.
Dari pengertian tersebut, bahwa ilmu
empiris berupa simpulan-simpulan penelitian dan konsep-konsep serta ilmu
teoritis dalam bentuk teori-teori atau grand
theory-grand theory. Setiap ilmuan seharusnya tidak merasa puas dengan
menemukan konsep-konsep saja, melainkan perlu diteruskan sampai terbentuknya
suatu teori.
Pendidikan merupakan salah satu
bidang ilmu. Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain, pendidikan lahir dari induknya
yaitu filsafat. Sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga
lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada
bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri
dengan pembentukan manusia. Filsafata diciptakan oleh manusia untuk kepentingan
memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup
manusia.
Di zaman Yunani kuno, bangsa Sparta
mendidik anak-anaknya menjadi warga negara yang sehat, berdisiplin tinggi, dan
tangkas menjadi militer, dengan tujuan utama mempertahankan keutuahan bangsa
dari gangguan bangsa lain. Pandangan manusia tentang manusia mulai menunjukan
titik terang, yang diawali pada zaman Athena, yaitu pada zaman Romawi, dan
diteruskan pada zaman Humanisme sampai sekarang.
Zaman-zaman tersebut masing-masing
mempunyai ciri-ciri. Zaman Athena mulai memperhatikan kemerdekaan manusia dan
keharmonisan jasmani-rohani. Sementara itu Romawi meneruskan kepada
ketatanegaraan, hukum, kehidupan sehari-hari, dan pendidikan agama. Sedangkan
tujuan utama pada zaman Humanisme ialah membentuk manusia yang harmonis, dalam
arti yang luas dengan pelajaran-pelajaran yang klasik yaitu kebudayaan Yunani
dan Romawi. Dan pada abad ke-18 ada satu hal yang menonjol patut diketahui
ialah gerakan nasionalisme. Pada zaman ini filsafat hidup manusia dikuasai oleh
keinginan yang kuat untuk membentuk negara sendiri. Sebab itu muncullah
pendidikan nasional di sejumlah wilayah yang berorientasi kepada kepentingan
bangsa dan negara itu sendiri. Dengan salah satu akibat negatif adalah timbul
sifat kegilaan terhadap tanah air (chaufanisme)
di Jerman yang melahirkan bencana perang dunia.
Pada zaman nasionalisme itulah
pendidikan sebagai ilmu mulai muncul. Zaman ini dikatakan sebagai kebangkitan
ilmu pendidikan, sebab komponen-komponen ilmu itu mulai lengkap. Ilmu
pendidikan telah memisahkan diri secara sempurna dari induknya yaitu filsafat.
Dalam perkembangan selanjutnya
terjadi perebutan pengaruh dalam dunia pendidikan yaitu antara pembawaan dan
lingkungan. Schopenhauer berpendapat bahwa anak manusia sudah dibekali segala
sesuatu sejak dilahirkan. Bila sudah sampai pada waktunya semua bekal itu akan
menjadi realitas. Pendidikan tidak ada gunanya. Aliran ini disebut Nativisme,
dari kata nativus yang artinya pembawaan. Bertentangan dengan aliaran ini,
ialah aliran Empirisme, berpendapat bahwa lingkunganlah yang memegang peranan
penting dalam menentukan maju mundurnya hidup dan kehidupan manusia. Kata
empirisme berasal dari kata empiria
yang lingkungan. Tokohnya ialah Jhon Locke yang terkenal dengan teori
tabularasa. Tabularasa adalah meja yang dilapisi lilin tempat menulis
orang-orang Yunani Kuno. Pendamai kedua teori ini adalah William Strem, yang
kemudian diikuti oleh Woodworth dan Marquis, yang menciptakan teori
Konvergensi. Teori ini memandang kekuasaan pembawaan dan lingkungan adalah sama
dalam perkembangan manusia.
Ketiga teori klasik tersebut di atas
masih mewarnai teori pendidikan pada zaman modern. Dalam aliran Behaviorisme
misalnya, B.F Skinner sebagai peletak dasar teori Determinism Enviromental, menyatakan bahwa pengetahuan yang
dimiliki manusia disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan, perilaku, saraf, dan
fisik manusia.
Sama halnya dengan teori lingkungan,
teori pembawaan pun masih berguna dalam zaman modern. Jansen dengan hasil-hasil
penelitiannya tahun 1969 membangkitkan kembali teori pembawaan (Zanti Arbi,
1988).
Dari uraian tersebut, tampak jelas
bahwa ilmu termasuk ilmu pendidikan, lahir dari filsafat umum. Namun ada konsep
lain yang menyatakan bahwa ilmu lahir filsafat umum melalui perantara, yaitu
filsafat ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam hal ini kelahiran ilmu ekonomi akan
dibantu oleh filsafat ekonomi, kelahiran IPA dibantu oleh filsafat IPA,
kelahiran filsafat ilmu pendidikan dibantu oleh filsafat pendidikan, dan
sebagainya.
Sikun Pribadi (ISPI, 1989)
menggambarkan hubungan filsafat, filsafat pendidikan, ilmu pendidikan, ilmu
pendidikan praktis, perbuatan mendidik, pengalaman mendidik, dan keyakinan
pendidik, sebagai berikut:
1.
Filsafat atau filsafat umum atau filsafat negara
menjadi sumber segala kegiatan manusia atau mewarnai semua aktivitas warga
suatu bangsa.
2.
Filsafat pendidikan dijabarkan dari filsafat, artinya
filsafat pendidikan tidak boleh bertentangan dengan filsafat.
3.
Selanjutnya ilmu pendidikan (yang bersifat teoritis)
ada durutkan ketiga, sebab ia dijabarkan dari filsafat pendidikan. Di sinilah
teori-teori pendidikan dirumuskan.
4.
Ilmu pendidikan praktis adalah merupakan konsep-konsep
pelaksanaan teori-teori pendidikan di atas. Jadi ini dijabarkan dari
teori-teori pendidikan.
5.
Pada langkah berikutnya adalah perbuatan mendidik,
yaitu tindakan-tindakan nyata dalam menerapkan teori pendidikan praktis.
6.
Sebagai akibat dari perbuatan mendidik, akan
mendapatkan pengalaman mendidik. Sudah tentu pengalaman ini didapat di
lapangan.
7.
Pengalaman ini memberi umpan balik kepada teori
pendidikan yang terdapat di dalam ilmu pendidikan, yang memanfaatkannya untuk
kemungkinan merevisi teori semula.
8.
Sebagai akibat dari revisi tadi, sangat mungkin ilmu
pendidikan memberi umpan balik kepada filsafat pendidikan dan kemungkinan
merevisi konsep-konsepnya.
9.
Ilmu pendidikan juga mengadakan kontak hubungan dengan
pengalaman-pengalaman mendidik, untuk selalu mengingatkan diri agar tidak
menyimpang dari teori-teori mendidik.
10. Sementara
perbuatan-perbuatan mendidik bisa menimbulkan keyakinan tersendiri tentang
pendidikan. Suatu keyakinan yang belum tampak pada filsafat, filsafat
pendidikan, maupun ilmu pendidikan. Keyakinan ini memberi bahan baru kepada
filsafat, untuk dipikirkan kembali dan dimasukan ke dalam filsafat.
B.
Filsafat Pendidikan
Filsafat
pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke
akar-akarnya mengenal pendidikan. Ada sejumlah filsafat pendidikan yang dianut
oleh bangsa-bangsa di dunia. Namun demikian semua filsafat itu akan menjawab
tiga pertanyaan pokok sebagai berikut: (Ateng Sutisna, 1990)
1.
Apakah pendidikan itu?
2.
Apakah yang hendak ia capai?
3.
Bagaimana cara terbaik
merealisasi tujuan-tujuan itu?
Masing-masing
pertanyaan ini dapat dirinci lebih lanjut, yang bertalian dengan apakah
pendidikan itu, antara lain:
1.
Bagaimana sifat pendidikan
itu?
2.
Apakah pendidikan itu
merupakan sosialisasi?
3.
Apakah pendidikan itu sebagai
pengembangan individu?
4.
Bagaimana mendefenisikan
pendidikan itu?
5.
Apakah pendidikan itu
berperan penting dalam membina perkembangan anak?
6.
Apakah pendidikan itu mengisi
perkembangan atau mengarahkan perkembangan anak?
7.
Apakah perlu membedakan
pendidikan teori dengan pendidikan praktik?
Pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan apa yang hendak dicapai oleh pendidikan, antara lain:
1.
Berapa proposi pendidikan
yang bersifat umum?
2.
Berapa proposi pendidikan
khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu?
3.
Apakah peserta didik
diperoleh berkembang bebas?
4.
Apakah perkembangan peserta
didik diarahkan ke nilai tertentu?
5.
Bagaimana sifat manusia itu?
6.
Dapatkah manusia diperbaiki?
7.
Apakah manusia itu sama atau
unik?
8.
Apakah ilmu dan teknologi
satu-satunya kebenaran utama dalam era globalisasi ini?
9.
Apakah tidak ada kebenaran lain
yang dapat dianut pada perkembangan manusia?
Sementara
itu yang dimaksudkan dengan menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah
memeriksa secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara
jelas validasinya. Hal ini perlu dilakukan agar dalam menyusun konsep
pendidikan secara utuh tidak terjadi keracunan, tumpang tindih, serta arah yang
simpang siur. Dengan demikian ide-ide yang kompleks bisa dijernihkan terlebih
dahulu, tujuan pendidikan yang jelas, dan alat-alatnya juga ditentukan yang
tepat.
Francis
Bacon dalam bukunya The Advancement of
Learning mengemukakan tesis bahwa kebayakan pengetahuan yang dimiliki oleh
manusia mengandung unsur-unsur validitas yang bermanfaat dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan sehari-hari, bila pengetahuan itu dibersihkan dari salah
satu konsep yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bacon menggunakan
logika induktif sebagai teknik kritis atau analisis untuk menemukan arti pendidikan
yang dapat diandalkan. Melalui pengalaman secara kritis dengan logika induktif
akan dapat ditemukan konsep-konsep pendidikan yang dapat diandalkan.
Mempreskriptifkan
filsafat pendidikan adalah upaya atau memberi pengarah kepada pendidik melalui
filsafat pendidikan. Yang dijelaskan bisa berupa hakikat manusia bila dibandingkan
dengan makhluk hidup yang lain, aspek-aspek peserta didik yang patut
dikembangkan: proses perkembangan itu sendiri, batas-batas keterlibatan
pendidik, arah pendidikan yang jelas, target-target pendidikan bila dipandang
perlu, perbedaan arah pendidikan bila diperlukan sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minat anak-anak.
Filsafat
pendidikan juga mengingatkan kepada kita agar sangat hati-hati menyusun suatu
teori. Struktur teori itu harus jelas, tidak boleh tumpang tindih. Suatu teori itu
harus jelas, tidak boleh tumpang tindih. Suatu teori yang akan dibangun perlu
dianalisis bagian-bagiannya, cabang-cabangnya, dan ranting-rantingnya termasuk
pengertian pendidikan itu sendiri, tujuan pendidikan, dan cara-cara mencapai
tujuan. Masing-masing bagian perlu divalidasi terlebih dahulu agar bebas dari
salah penafsiran memakai terminologi yang tepat, defenisi yang jelas dan
sebagainya.
Agar
uraian filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut akan dipaparkan
tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia, diantaranya:
1.
Esensialis
Filsafat
ini bertitik tolak dari kebenaran yang
telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial,
yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran esensial itu
ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang menggunakan
buku-buku klasik ditulis dengan bahasa Latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad
lamanya mampu membentuk manusia-manusia berkaliber internasional. Pengaruh
filsafat ini sangat kuat sampai sekarang. Sekolah-sekolah dengan kurikulum dan
metode tradisionalnya merupakan perwujudan filsafat pendidikan ini. Sementara
itu kebudayaan klasik yang dipandang esensial seperti itu di dunia timur adalah
Mahabrata dan Ramayana.
2.
Perenialis
Filsafat
ini tidak jauh berbeda dengan filsafat pendidikan esensialis. Kalau kebenaran
esensial pada esensialis ada pada kebudayaan klasik dengan Great Booknya, maka kebenaran Perenialis ada pada wahyu Tuhan.
Tentang bagaimana cara menimbulkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam
proses belajar mengajar tidaklah jauh berbeda antara esensialis dengan
perenialis. Proses pendidikan mereka sama-sama bersifat tradisional.
Filsafat
ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan agama Katolik-Kristen.
Pada zaman itu tokoh-tokoh agama menguasai hampir semua bidang kemasyarakatan.
Sehingga sangat logis kalau sekolah-sekolah yang berintikan ajaran agama muncul
di sana-sini. Ajaran agama itulah merupakan suatu kebenaran yang patut
dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh filsafat ini
adalah Agustinus dan Thomas Aquino.
3.
Progresivisme
Mempunyai
jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata.
Menurut filsafat ini, tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada
kebenaran yang pasti. Tujuan dari kebenaran itu bersifat relatif. Apa yang
sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu
tetap benar. Ukuran kebenaran ialah yang berguna bagi kehidupan manusia hari
ini. Tokoh filsafat pendidikan Progresivis adalah John Dewey.
Sebagai
konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam pendidikan adalah
mengembangkan peserta didik untuk bisa berpikir, yaitu bagaimana berpikir yang
baik. Hal ini bisa dicapai melalui metode belajar pemecahan masalah yang
dilakukan oleh anak-anak sendiri. Karena itu pendidikan menjadi terpusat pada
anak.
4.
Rekonstruksi
Filsafat
pendidikan Rekonstruksi merupakan variasi dari progresivisme yang menginginkan kondisi
manusia pada umumnya harus diperbaiki (Callahan, 1983). Mereka bercita—cita
mengkonstruksi kembali kehidupan manusia seccara total. Semua bidang kehidupan
harus diubah dan dibuat baru aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata
susunan masyarakat lama dan membanguan tata susunan hidup yang baru sama
sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan. Proses belajar dan segala
sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran
progresivis.
5.
Eksistensial
Filsafat
pendidikan Eksistensial berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah
eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia
ini tidak punya tujuan dan kehidupan
menjadi terserap karena adda manusia. Manusia adalah bebas, akan menjadi apa
orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri (Callahan, 1983).
Pendidikan
menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi
kesempaatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri
sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitemen diri. Materi
pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan
sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok.
C.
Filsafat Pendidikan di Indonesia
Bangsa
Indonesia baru memiliki filsafat umum atau filsafat negara adalah Pancasila.
Sebagai filsafat negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia,,
menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang, dan mewarnai segala
kehidupan dari hari ke hari.
Langganan:
Postingan (Atom)