A.
Filsafat, Ilmu, dan Ilmu Pendidikan
Filsafat
dalam arti sekarang mulai dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Para tokoh filsafat
pada waktu itu adalah Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan
Aristoteles (384-322 SM). Socrates mengajarkan bahwa manusia harus mencari
kebenaran dan kebijakan dengan cara berpikir secara dialektis. Plato mengatakan
kebenaran hanya ada di dalam ide yang bisa diselami dengan akal, sedangkan
Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari
melalui pengalaman para indra.
Filsafat membahas sesuatu dari
segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah
kebenaran menyeluruh yang sering dipertetangkan dengan kebenaran ilmu yang
sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa
dinikmati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya
sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung es, kita hanya mampu melihat
yang ada di atas permukaan laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami
sampai ke dasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui
pikiran dan renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat
cabang filsafat yaitu metafisika, epistemologi, logika, dan etika, dengan
kandungan materi masing-masing sebagai berikut:
1.
Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang segala
susuatu yang terdapat di dalam alam ini. Dalam kaitannya dengan manusia, ada
dua pandangan yaitu: (Callahan, 1983)
a. Manusia pada
hakikatnya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa dan roh, yang lain adalah
semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk
mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum Idealis,, Skolastik, dan
beberapa Realis.
b. Manusia
adalah organisme materi. Pandangan ini dianut kamu Naturalis, Materialis,
Eksperimentalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup.
Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi menyenangkan.
2.
Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang
pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut:
a. Ada lima
sumber pengetahuan yaitu:
(1)
Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks
yang baik, rumus, dan tabel.
(2)
Common sense, yang ada pada adat dan tradisi.
(3)
Intuisi yang berkaitan dengan perasaan.
(4)
Pikiran yang menyimpulkan hasil pengalaman.
(5)
Pengalaman yang terkontrol yang mendapatkan
pengetahuan secara ilmiah.
b. Ada empat
teori kebenaran yaitu:
(1)
Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsisten dengan
kebenaran umum.
(2)
Koresponden, susuatu akan benar bila ia tepat dengan
fakta yang dijelaskan.
(3)
Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensi
memberi manfaat bagi kehidupan.
(4)
Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak
ada kebenaran yang lengkap.
3.
Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara
manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan
manusia bisa berpikir dan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan benar.
4.
Etika adalah filsafat yang menguraikan tentang
perilaku manusia. Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok
pemikiran dalam filsafat ini. Filsaffat etika sangat besar mempengaruhi
pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangkan perilaku manusia, antara
lain afeksi peserta didik.
Definisi kata
filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling
tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu
filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak
mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita
sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan
tidak tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya
dengan realitas hidup kita.
Jujun (1985) mengemukakan sifat ilmu
pada taraf peralihan yang dibedakannya dengan sifat ilmu ang sudah benar-benar
mapan. Ketika ilmu baru muncul, baru terlepas dan filsafat sebagai induknya,
ilmu masih punya pertautan dengan filsafat. Pada taraf ini ilmu menggunakan
norma-norma filsafat, yaitu norma-norma tentang bagaimana seharunya.
Penemuan-penemuan ilmiah masih dikonfirmasikan kepada norma-norma filsafat.
Pada taraf selanjutnya, ilmu
meyatakan dirinya otonom, ia bebas sama sekali dengan konsep-konsep dan
norma-norma berdasarkan apa adanya di lapangan. Ilmu mengemukakan hakikat alam
beserta isinya sebagaimana adanya, bebas dari norma-norma yang diciptakan
manusia.
Dalam buku yang lain, Jujun (1981)
membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua bagian yang saling berkaitan satu
dengan lain. Tingkat proses perkembangan yang dimaksud adalah:
1.
Tingkat empiris adalah ilmu yang baru ditemukan di
lapangan. Ilmu yang masih berdiri sendiri-sendiri, baru sedikit bertautan
dengan penemuan lain yang sejenis. Pada tingkat ini wujud ilmu belum utuh,
masing-masing sesuai dengan misi penemuannya karena belum lengkap.
2.
Tingkat penjelasan atau teoritis, ialah ilmu yang
sudah mengembangkan suatu struktur teoritis. Dengan struktural ini ilmu-ilmu
empiris yang masih terpisah dicari kaitannya satu dengan yang lain dan
dijelaskan sifat kaitannya itu. Dengan cara ini struktur berusaha mengintegrasikan
ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu pola yang berarti.
Dari pengertian tersebut, bahwa ilmu
empiris berupa simpulan-simpulan penelitian dan konsep-konsep serta ilmu
teoritis dalam bentuk teori-teori atau grand
theory-grand theory. Setiap ilmuan seharusnya tidak merasa puas dengan
menemukan konsep-konsep saja, melainkan perlu diteruskan sampai terbentuknya
suatu teori.
Pendidikan merupakan salah satu
bidang ilmu. Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain, pendidikan lahir dari induknya
yaitu filsafat. Sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga
lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada
bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri
dengan pembentukan manusia. Filsafata diciptakan oleh manusia untuk kepentingan
memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup
manusia.
Di zaman Yunani kuno, bangsa Sparta
mendidik anak-anaknya menjadi warga negara yang sehat, berdisiplin tinggi, dan
tangkas menjadi militer, dengan tujuan utama mempertahankan keutuahan bangsa
dari gangguan bangsa lain. Pandangan manusia tentang manusia mulai menunjukan
titik terang, yang diawali pada zaman Athena, yaitu pada zaman Romawi, dan
diteruskan pada zaman Humanisme sampai sekarang.
Zaman-zaman tersebut masing-masing
mempunyai ciri-ciri. Zaman Athena mulai memperhatikan kemerdekaan manusia dan
keharmonisan jasmani-rohani. Sementara itu Romawi meneruskan kepada
ketatanegaraan, hukum, kehidupan sehari-hari, dan pendidikan agama. Sedangkan
tujuan utama pada zaman Humanisme ialah membentuk manusia yang harmonis, dalam
arti yang luas dengan pelajaran-pelajaran yang klasik yaitu kebudayaan Yunani
dan Romawi. Dan pada abad ke-18 ada satu hal yang menonjol patut diketahui
ialah gerakan nasionalisme. Pada zaman ini filsafat hidup manusia dikuasai oleh
keinginan yang kuat untuk membentuk negara sendiri. Sebab itu muncullah
pendidikan nasional di sejumlah wilayah yang berorientasi kepada kepentingan
bangsa dan negara itu sendiri. Dengan salah satu akibat negatif adalah timbul
sifat kegilaan terhadap tanah air (chaufanisme)
di Jerman yang melahirkan bencana perang dunia.
Pada zaman nasionalisme itulah
pendidikan sebagai ilmu mulai muncul. Zaman ini dikatakan sebagai kebangkitan
ilmu pendidikan, sebab komponen-komponen ilmu itu mulai lengkap. Ilmu
pendidikan telah memisahkan diri secara sempurna dari induknya yaitu filsafat.
Dalam perkembangan selanjutnya
terjadi perebutan pengaruh dalam dunia pendidikan yaitu antara pembawaan dan
lingkungan. Schopenhauer berpendapat bahwa anak manusia sudah dibekali segala
sesuatu sejak dilahirkan. Bila sudah sampai pada waktunya semua bekal itu akan
menjadi realitas. Pendidikan tidak ada gunanya. Aliran ini disebut Nativisme,
dari kata nativus yang artinya pembawaan. Bertentangan dengan aliaran ini,
ialah aliran Empirisme, berpendapat bahwa lingkunganlah yang memegang peranan
penting dalam menentukan maju mundurnya hidup dan kehidupan manusia. Kata
empirisme berasal dari kata empiria
yang lingkungan. Tokohnya ialah Jhon Locke yang terkenal dengan teori
tabularasa. Tabularasa adalah meja yang dilapisi lilin tempat menulis
orang-orang Yunani Kuno. Pendamai kedua teori ini adalah William Strem, yang
kemudian diikuti oleh Woodworth dan Marquis, yang menciptakan teori
Konvergensi. Teori ini memandang kekuasaan pembawaan dan lingkungan adalah sama
dalam perkembangan manusia.
Ketiga teori klasik tersebut di atas
masih mewarnai teori pendidikan pada zaman modern. Dalam aliran Behaviorisme
misalnya, B.F Skinner sebagai peletak dasar teori Determinism Enviromental, menyatakan bahwa pengetahuan yang
dimiliki manusia disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan, perilaku, saraf, dan
fisik manusia.
Sama halnya dengan teori lingkungan,
teori pembawaan pun masih berguna dalam zaman modern. Jansen dengan hasil-hasil
penelitiannya tahun 1969 membangkitkan kembali teori pembawaan (Zanti Arbi,
1988).
Dari uraian tersebut, tampak jelas
bahwa ilmu termasuk ilmu pendidikan, lahir dari filsafat umum. Namun ada konsep
lain yang menyatakan bahwa ilmu lahir filsafat umum melalui perantara, yaitu
filsafat ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam hal ini kelahiran ilmu ekonomi akan
dibantu oleh filsafat ekonomi, kelahiran IPA dibantu oleh filsafat IPA,
kelahiran filsafat ilmu pendidikan dibantu oleh filsafat pendidikan, dan
sebagainya.
Sikun Pribadi (ISPI, 1989)
menggambarkan hubungan filsafat, filsafat pendidikan, ilmu pendidikan, ilmu
pendidikan praktis, perbuatan mendidik, pengalaman mendidik, dan keyakinan
pendidik, sebagai berikut:
1.
Filsafat atau filsafat umum atau filsafat negara
menjadi sumber segala kegiatan manusia atau mewarnai semua aktivitas warga
suatu bangsa.
2.
Filsafat pendidikan dijabarkan dari filsafat, artinya
filsafat pendidikan tidak boleh bertentangan dengan filsafat.
3.
Selanjutnya ilmu pendidikan (yang bersifat teoritis)
ada durutkan ketiga, sebab ia dijabarkan dari filsafat pendidikan. Di sinilah
teori-teori pendidikan dirumuskan.
4.
Ilmu pendidikan praktis adalah merupakan konsep-konsep
pelaksanaan teori-teori pendidikan di atas. Jadi ini dijabarkan dari
teori-teori pendidikan.
5.
Pada langkah berikutnya adalah perbuatan mendidik,
yaitu tindakan-tindakan nyata dalam menerapkan teori pendidikan praktis.
6.
Sebagai akibat dari perbuatan mendidik, akan
mendapatkan pengalaman mendidik. Sudah tentu pengalaman ini didapat di
lapangan.
7.
Pengalaman ini memberi umpan balik kepada teori
pendidikan yang terdapat di dalam ilmu pendidikan, yang memanfaatkannya untuk
kemungkinan merevisi teori semula.
8.
Sebagai akibat dari revisi tadi, sangat mungkin ilmu
pendidikan memberi umpan balik kepada filsafat pendidikan dan kemungkinan
merevisi konsep-konsepnya.
9.
Ilmu pendidikan juga mengadakan kontak hubungan dengan
pengalaman-pengalaman mendidik, untuk selalu mengingatkan diri agar tidak
menyimpang dari teori-teori mendidik.
10. Sementara
perbuatan-perbuatan mendidik bisa menimbulkan keyakinan tersendiri tentang
pendidikan. Suatu keyakinan yang belum tampak pada filsafat, filsafat
pendidikan, maupun ilmu pendidikan. Keyakinan ini memberi bahan baru kepada
filsafat, untuk dipikirkan kembali dan dimasukan ke dalam filsafat.
B.
Filsafat Pendidikan
Filsafat
pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke
akar-akarnya mengenal pendidikan. Ada sejumlah filsafat pendidikan yang dianut
oleh bangsa-bangsa di dunia. Namun demikian semua filsafat itu akan menjawab
tiga pertanyaan pokok sebagai berikut: (Ateng Sutisna, 1990)
1.
Apakah pendidikan itu?
2.
Apakah yang hendak ia capai?
3.
Bagaimana cara terbaik
merealisasi tujuan-tujuan itu?
Masing-masing
pertanyaan ini dapat dirinci lebih lanjut, yang bertalian dengan apakah
pendidikan itu, antara lain:
1.
Bagaimana sifat pendidikan
itu?
2.
Apakah pendidikan itu
merupakan sosialisasi?
3.
Apakah pendidikan itu sebagai
pengembangan individu?
4.
Bagaimana mendefenisikan
pendidikan itu?
5.
Apakah pendidikan itu
berperan penting dalam membina perkembangan anak?
6.
Apakah pendidikan itu mengisi
perkembangan atau mengarahkan perkembangan anak?
7.
Apakah perlu membedakan
pendidikan teori dengan pendidikan praktik?
Pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan apa yang hendak dicapai oleh pendidikan, antara lain:
1.
Berapa proposi pendidikan
yang bersifat umum?
2.
Berapa proposi pendidikan
khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu?
3.
Apakah peserta didik
diperoleh berkembang bebas?
4.
Apakah perkembangan peserta
didik diarahkan ke nilai tertentu?
5.
Bagaimana sifat manusia itu?
6.
Dapatkah manusia diperbaiki?
7.
Apakah manusia itu sama atau
unik?
8.
Apakah ilmu dan teknologi
satu-satunya kebenaran utama dalam era globalisasi ini?
9.
Apakah tidak ada kebenaran lain
yang dapat dianut pada perkembangan manusia?
Sementara
itu yang dimaksudkan dengan menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah
memeriksa secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara
jelas validasinya. Hal ini perlu dilakukan agar dalam menyusun konsep
pendidikan secara utuh tidak terjadi keracunan, tumpang tindih, serta arah yang
simpang siur. Dengan demikian ide-ide yang kompleks bisa dijernihkan terlebih
dahulu, tujuan pendidikan yang jelas, dan alat-alatnya juga ditentukan yang
tepat.
Francis
Bacon dalam bukunya The Advancement of
Learning mengemukakan tesis bahwa kebayakan pengetahuan yang dimiliki oleh
manusia mengandung unsur-unsur validitas yang bermanfaat dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan sehari-hari, bila pengetahuan itu dibersihkan dari salah
satu konsep yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bacon menggunakan
logika induktif sebagai teknik kritis atau analisis untuk menemukan arti pendidikan
yang dapat diandalkan. Melalui pengalaman secara kritis dengan logika induktif
akan dapat ditemukan konsep-konsep pendidikan yang dapat diandalkan.
Mempreskriptifkan
filsafat pendidikan adalah upaya atau memberi pengarah kepada pendidik melalui
filsafat pendidikan. Yang dijelaskan bisa berupa hakikat manusia bila dibandingkan
dengan makhluk hidup yang lain, aspek-aspek peserta didik yang patut
dikembangkan: proses perkembangan itu sendiri, batas-batas keterlibatan
pendidik, arah pendidikan yang jelas, target-target pendidikan bila dipandang
perlu, perbedaan arah pendidikan bila diperlukan sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minat anak-anak.
Filsafat
pendidikan juga mengingatkan kepada kita agar sangat hati-hati menyusun suatu
teori. Struktur teori itu harus jelas, tidak boleh tumpang tindih. Suatu teori itu
harus jelas, tidak boleh tumpang tindih. Suatu teori yang akan dibangun perlu
dianalisis bagian-bagiannya, cabang-cabangnya, dan ranting-rantingnya termasuk
pengertian pendidikan itu sendiri, tujuan pendidikan, dan cara-cara mencapai
tujuan. Masing-masing bagian perlu divalidasi terlebih dahulu agar bebas dari
salah penafsiran memakai terminologi yang tepat, defenisi yang jelas dan
sebagainya.
Agar
uraian filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut akan dipaparkan
tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia, diantaranya:
1.
Esensialis
Filsafat
ini bertitik tolak dari kebenaran yang
telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial,
yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran esensial itu
ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang menggunakan
buku-buku klasik ditulis dengan bahasa Latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad
lamanya mampu membentuk manusia-manusia berkaliber internasional. Pengaruh
filsafat ini sangat kuat sampai sekarang. Sekolah-sekolah dengan kurikulum dan
metode tradisionalnya merupakan perwujudan filsafat pendidikan ini. Sementara
itu kebudayaan klasik yang dipandang esensial seperti itu di dunia timur adalah
Mahabrata dan Ramayana.
2.
Perenialis
Filsafat
ini tidak jauh berbeda dengan filsafat pendidikan esensialis. Kalau kebenaran
esensial pada esensialis ada pada kebudayaan klasik dengan Great Booknya, maka kebenaran Perenialis ada pada wahyu Tuhan.
Tentang bagaimana cara menimbulkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam
proses belajar mengajar tidaklah jauh berbeda antara esensialis dengan
perenialis. Proses pendidikan mereka sama-sama bersifat tradisional.
Filsafat
ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan agama Katolik-Kristen.
Pada zaman itu tokoh-tokoh agama menguasai hampir semua bidang kemasyarakatan.
Sehingga sangat logis kalau sekolah-sekolah yang berintikan ajaran agama muncul
di sana-sini. Ajaran agama itulah merupakan suatu kebenaran yang patut
dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh filsafat ini
adalah Agustinus dan Thomas Aquino.
3.
Progresivisme
Mempunyai
jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata.
Menurut filsafat ini, tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada
kebenaran yang pasti. Tujuan dari kebenaran itu bersifat relatif. Apa yang
sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu
tetap benar. Ukuran kebenaran ialah yang berguna bagi kehidupan manusia hari
ini. Tokoh filsafat pendidikan Progresivis adalah John Dewey.
Sebagai
konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam pendidikan adalah
mengembangkan peserta didik untuk bisa berpikir, yaitu bagaimana berpikir yang
baik. Hal ini bisa dicapai melalui metode belajar pemecahan masalah yang
dilakukan oleh anak-anak sendiri. Karena itu pendidikan menjadi terpusat pada
anak.
4.
Rekonstruksi
Filsafat
pendidikan Rekonstruksi merupakan variasi dari progresivisme yang menginginkan kondisi
manusia pada umumnya harus diperbaiki (Callahan, 1983). Mereka bercita—cita
mengkonstruksi kembali kehidupan manusia seccara total. Semua bidang kehidupan
harus diubah dan dibuat baru aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata
susunan masyarakat lama dan membanguan tata susunan hidup yang baru sama
sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan. Proses belajar dan segala
sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran
progresivis.
5.
Eksistensial
Filsafat
pendidikan Eksistensial berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah
eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia
ini tidak punya tujuan dan kehidupan
menjadi terserap karena adda manusia. Manusia adalah bebas, akan menjadi apa
orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri (Callahan, 1983).
Pendidikan
menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi
kesempaatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri
sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitemen diri. Materi
pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan
sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok.
C.
Filsafat Pendidikan di Indonesia
Bangsa
Indonesia baru memiliki filsafat umum atau filsafat negara adalah Pancasila.
Sebagai filsafat negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia,,
menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang, dan mewarnai segala
kehidupan dari hari ke hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar