Halaman

Rabu, 14 November 2012

Landasan Filosofis Pendidikan Implikasi dalam Praktek Manajemen Pendidikan


A.    Filsafat, Ilmu, dan Ilmu Pendidikan
Filsafat dalam arti sekarang mulai dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Para tokoh filsafat pada waktu itu adalah Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates mengajarkan bahwa manusia harus mencari kebenaran dan kebijakan dengan cara berpikir secara dialektis. Plato mengatakan kebenaran hanya ada di dalam ide yang bisa diselami dengan akal, sedangkan Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari melalui pengalaman para indra.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertetangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa dinikmati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung es, kita hanya mampu melihat yang ada di atas permukaan laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami sampai ke dasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu metafisika, epistemologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut:
1.      Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang segala susuatu yang terdapat di dalam alam ini. Dalam kaitannya dengan manusia, ada dua pandangan yaitu: (Callahan, 1983)
a.       Manusia pada hakikatnya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa dan roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari  ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum Idealis,, Skolastik, dan beberapa Realis.
b.      Manusia adalah organisme materi. Pandangan ini dianut kamu Naturalis, Materialis, Eksperimentalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup. Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi menyenangkan.
2.      Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut:
a.       Ada lima sumber pengetahuan yaitu:
(1)   Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan tabel.
(2)   Common sense, yang ada pada adat dan tradisi.
(3)   Intuisi yang berkaitan dengan perasaan.
(4)   Pikiran yang menyimpulkan hasil pengalaman.
(5)   Pengalaman yang terkontrol yang mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
b.      Ada empat teori kebenaran yaitu:
(1)   Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsisten dengan kebenaran umum.
(2)   Koresponden, susuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.
(3)   Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensi memberi manfaat bagi kehidupan.
(4)   Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3.      Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan manusia bisa berpikir dan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan benar.
4.      Etika adalah filsafat yang menguraikan tentang perilaku manusia. Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsaffat etika sangat besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangkan perilaku manusia, antara lain afeksi peserta didik.

Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Jujun (1985) mengemukakan sifat ilmu pada taraf peralihan yang dibedakannya dengan sifat ilmu ang sudah benar-benar mapan. Ketika ilmu baru muncul, baru terlepas dan filsafat sebagai induknya, ilmu masih punya pertautan dengan filsafat. Pada taraf ini ilmu menggunakan norma-norma filsafat, yaitu norma-norma tentang bagaimana seharunya. Penemuan-penemuan ilmiah masih dikonfirmasikan kepada norma-norma filsafat.
Pada taraf selanjutnya, ilmu meyatakan dirinya otonom, ia bebas sama sekali dengan konsep-konsep dan norma-norma berdasarkan apa adanya di lapangan. Ilmu mengemukakan hakikat alam beserta isinya sebagaimana adanya, bebas dari norma-norma yang diciptakan manusia.
Dalam buku yang lain, Jujun (1981) membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua bagian yang saling berkaitan satu dengan lain. Tingkat proses perkembangan yang dimaksud adalah:
1.      Tingkat empiris adalah ilmu yang baru ditemukan di lapangan. Ilmu yang masih berdiri sendiri-sendiri, baru sedikit bertautan dengan penemuan lain yang sejenis. Pada tingkat ini wujud ilmu belum utuh, masing-masing sesuai dengan misi penemuannya karena belum lengkap.
2.      Tingkat penjelasan atau teoritis, ialah ilmu yang sudah mengembangkan suatu struktur teoritis. Dengan struktural ini ilmu-ilmu empiris yang masih terpisah dicari kaitannya satu dengan yang lain dan dijelaskan sifat kaitannya itu. Dengan cara ini struktur berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu pola yang berarti.
Dari pengertian tersebut, bahwa ilmu empiris berupa simpulan-simpulan penelitian dan konsep-konsep serta ilmu teoritis dalam bentuk teori-teori atau grand theory-grand theory. Setiap ilmuan seharusnya tidak merasa puas dengan menemukan konsep-konsep saja, melainkan perlu diteruskan sampai terbentuknya suatu teori.
Pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu. Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain, pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat. Sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafata diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.
Di zaman Yunani kuno, bangsa Sparta mendidik anak-anaknya menjadi warga negara yang sehat, berdisiplin tinggi, dan tangkas menjadi militer, dengan tujuan utama mempertahankan keutuahan bangsa dari gangguan bangsa lain. Pandangan manusia tentang manusia mulai menunjukan titik terang, yang diawali pada zaman Athena, yaitu pada zaman Romawi, dan diteruskan pada zaman Humanisme sampai sekarang.
Zaman-zaman tersebut masing-masing mempunyai ciri-ciri. Zaman Athena mulai memperhatikan kemerdekaan manusia dan keharmonisan jasmani-rohani. Sementara itu Romawi meneruskan kepada ketatanegaraan, hukum, kehidupan sehari-hari, dan pendidikan agama. Sedangkan tujuan utama pada zaman Humanisme ialah membentuk manusia yang harmonis, dalam arti yang luas dengan pelajaran-pelajaran yang klasik yaitu kebudayaan Yunani dan Romawi. Dan pada abad ke-18 ada satu hal yang menonjol patut diketahui ialah gerakan nasionalisme. Pada zaman ini filsafat hidup manusia dikuasai oleh keinginan yang kuat untuk membentuk negara sendiri. Sebab itu muncullah pendidikan nasional di sejumlah wilayah yang berorientasi kepada kepentingan bangsa dan negara itu sendiri. Dengan salah satu akibat negatif adalah timbul sifat kegilaan terhadap tanah air (chaufanisme) di Jerman yang melahirkan bencana perang dunia.
Pada zaman nasionalisme itulah pendidikan sebagai ilmu mulai muncul. Zaman ini dikatakan sebagai kebangkitan ilmu pendidikan, sebab komponen-komponen ilmu itu mulai lengkap. Ilmu pendidikan telah memisahkan diri secara sempurna dari induknya yaitu filsafat.
Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perebutan pengaruh dalam dunia pendidikan yaitu antara pembawaan dan lingkungan. Schopenhauer berpendapat bahwa anak manusia sudah dibekali segala sesuatu sejak dilahirkan. Bila sudah sampai pada waktunya semua bekal itu akan menjadi realitas. Pendidikan tidak ada gunanya. Aliran ini disebut Nativisme, dari kata nativus yang artinya pembawaan. Bertentangan dengan aliaran ini, ialah aliran Empirisme, berpendapat bahwa lingkunganlah yang memegang peranan penting dalam menentukan maju mundurnya hidup dan kehidupan manusia. Kata empirisme berasal dari kata empiria yang lingkungan. Tokohnya ialah Jhon Locke yang terkenal dengan teori tabularasa. Tabularasa adalah meja yang dilapisi lilin tempat menulis orang-orang Yunani Kuno. Pendamai kedua teori ini adalah William Strem, yang kemudian diikuti oleh Woodworth dan Marquis, yang menciptakan teori Konvergensi. Teori ini memandang kekuasaan pembawaan dan lingkungan adalah sama dalam perkembangan manusia.
Ketiga teori klasik tersebut di atas masih mewarnai teori pendidikan pada zaman modern. Dalam aliran Behaviorisme misalnya, B.F Skinner sebagai peletak dasar teori Determinism Enviromental, menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan, perilaku, saraf, dan fisik manusia.
Sama halnya dengan teori lingkungan, teori pembawaan pun masih berguna dalam zaman modern. Jansen dengan hasil-hasil penelitiannya tahun 1969 membangkitkan kembali teori pembawaan (Zanti Arbi, 1988).
Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa ilmu termasuk ilmu pendidikan, lahir dari filsafat umum. Namun ada konsep lain yang menyatakan bahwa ilmu lahir filsafat umum melalui perantara, yaitu filsafat ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam hal ini kelahiran ilmu ekonomi akan dibantu oleh filsafat ekonomi, kelahiran IPA dibantu oleh filsafat IPA, kelahiran filsafat ilmu pendidikan dibantu oleh filsafat pendidikan, dan sebagainya.
Sikun Pribadi (ISPI, 1989) menggambarkan hubungan filsafat, filsafat pendidikan, ilmu pendidikan, ilmu pendidikan praktis, perbuatan mendidik, pengalaman mendidik, dan keyakinan pendidik, sebagai berikut:
1.      Filsafat atau filsafat umum atau filsafat negara menjadi sumber segala kegiatan manusia atau mewarnai semua aktivitas warga suatu bangsa.
2.      Filsafat pendidikan dijabarkan dari filsafat, artinya filsafat pendidikan tidak boleh bertentangan dengan filsafat.
3.      Selanjutnya ilmu pendidikan (yang bersifat teoritis) ada durutkan ketiga, sebab ia dijabarkan dari filsafat pendidikan. Di sinilah teori-teori pendidikan dirumuskan.
4.      Ilmu pendidikan praktis adalah merupakan konsep-konsep pelaksanaan teori-teori pendidikan di atas. Jadi ini dijabarkan dari teori-teori pendidikan.
5.      Pada langkah berikutnya adalah perbuatan mendidik, yaitu tindakan-tindakan nyata dalam menerapkan teori pendidikan praktis.
6.      Sebagai akibat dari perbuatan mendidik, akan mendapatkan pengalaman mendidik. Sudah tentu pengalaman ini didapat di lapangan.
7.      Pengalaman ini memberi umpan balik kepada teori pendidikan yang terdapat di dalam ilmu pendidikan, yang memanfaatkannya untuk kemungkinan merevisi teori semula.
8.      Sebagai akibat dari revisi tadi, sangat mungkin ilmu pendidikan memberi umpan balik kepada filsafat pendidikan dan kemungkinan merevisi konsep-konsepnya.
9.      Ilmu pendidikan juga mengadakan kontak hubungan dengan pengalaman-pengalaman mendidik, untuk selalu mengingatkan diri agar tidak menyimpang dari teori-teori mendidik.
10.  Sementara perbuatan-perbuatan mendidik bisa menimbulkan keyakinan tersendiri tentang pendidikan. Suatu keyakinan yang belum tampak pada filsafat, filsafat pendidikan, maupun ilmu pendidikan. Keyakinan ini memberi bahan baru kepada filsafat, untuk dipikirkan kembali dan dimasukan ke dalam filsafat.

B.     Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Ada sejumlah filsafat pendidikan yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia. Namun demikian semua filsafat itu akan menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut: (Ateng Sutisna, 1990)
1.      Apakah pendidikan itu?
2.      Apakah yang hendak ia capai?
3.      Bagaimana cara terbaik merealisasi tujuan-tujuan itu?
Masing-masing pertanyaan ini dapat dirinci lebih lanjut, yang bertalian dengan apakah pendidikan itu, antara lain:
1.      Bagaimana sifat pendidikan itu?
2.      Apakah pendidikan itu merupakan sosialisasi?
3.      Apakah pendidikan itu sebagai pengembangan individu?
4.      Bagaimana mendefenisikan pendidikan itu?
5.      Apakah pendidikan itu berperan penting dalam membina perkembangan anak?
6.      Apakah pendidikan itu mengisi perkembangan atau mengarahkan perkembangan anak?
7.      Apakah perlu membedakan pendidikan teori dengan pendidikan praktik?
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang hendak dicapai oleh pendidikan, antara lain:
1.      Berapa proposi pendidikan yang bersifat umum?
2.      Berapa proposi pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu?
3.      Apakah peserta didik diperoleh berkembang bebas?
4.      Apakah perkembangan peserta didik diarahkan ke nilai tertentu?
5.      Bagaimana sifat manusia itu?
6.      Dapatkah manusia diperbaiki?
7.      Apakah manusia itu sama atau unik?
8.      Apakah ilmu dan teknologi satu-satunya kebenaran utama dalam era globalisasi ini?
9.      Apakah tidak ada kebenaran lain yang dapat dianut pada perkembangan manusia?
Sementara itu yang dimaksudkan dengan menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah memeriksa secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara jelas validasinya. Hal ini perlu dilakukan agar dalam menyusun konsep pendidikan secara utuh tidak terjadi keracunan, tumpang tindih, serta arah yang simpang siur. Dengan demikian ide-ide yang kompleks bisa dijernihkan terlebih dahulu, tujuan pendidikan yang jelas, dan alat-alatnya juga ditentukan yang tepat.
Francis Bacon dalam bukunya The Advancement of Learning mengemukakan tesis bahwa kebayakan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia mengandung unsur-unsur validitas yang bermanfaat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-hari, bila pengetahuan itu dibersihkan dari salah satu konsep yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bacon menggunakan logika induktif sebagai teknik kritis atau analisis untuk menemukan arti pendidikan yang dapat diandalkan. Melalui pengalaman secara kritis dengan logika induktif akan dapat ditemukan konsep-konsep pendidikan yang dapat diandalkan.
Mempreskriptifkan filsafat pendidikan adalah upaya atau memberi pengarah kepada pendidik melalui filsafat pendidikan. Yang dijelaskan bisa berupa hakikat manusia bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, aspek-aspek peserta didik yang patut dikembangkan: proses perkembangan itu sendiri, batas-batas keterlibatan pendidik, arah pendidikan yang jelas, target-target pendidikan bila dipandang perlu, perbedaan arah pendidikan bila diperlukan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat anak-anak.
Filsafat pendidikan juga mengingatkan kepada kita agar sangat hati-hati menyusun suatu teori. Struktur teori itu harus jelas, tidak boleh tumpang tindih. Suatu teori itu harus jelas, tidak boleh tumpang tindih. Suatu teori yang akan dibangun perlu dianalisis bagian-bagiannya, cabang-cabangnya, dan ranting-rantingnya termasuk pengertian pendidikan itu sendiri, tujuan pendidikan, dan cara-cara mencapai tujuan. Masing-masing bagian perlu divalidasi terlebih dahulu agar bebas dari salah penafsiran memakai terminologi yang tepat, defenisi yang jelas dan sebagainya.
Agar uraian filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut akan dipaparkan tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia, diantaranya:
1.      Esensialis
Filsafat ini bertitik tolak dari kebenaran  yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa Latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusia-manusia berkaliber internasional. Pengaruh filsafat ini sangat kuat sampai sekarang. Sekolah-sekolah dengan kurikulum dan metode tradisionalnya merupakan perwujudan filsafat pendidikan ini. Sementara itu kebudayaan klasik yang dipandang esensial seperti itu di dunia timur adalah Mahabrata dan Ramayana.
2.      Perenialis
Filsafat ini tidak jauh berbeda dengan filsafat pendidikan esensialis. Kalau kebenaran esensial pada esensialis ada pada kebudayaan klasik dengan Great Booknya, maka kebenaran Perenialis ada pada wahyu Tuhan. Tentang bagaimana cara menimbulkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam proses belajar mengajar tidaklah jauh berbeda antara esensialis dengan perenialis. Proses pendidikan mereka sama-sama bersifat tradisional.
Filsafat ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan agama Katolik-Kristen. Pada zaman itu tokoh-tokoh agama menguasai hampir semua bidang kemasyarakatan. Sehingga sangat logis kalau sekolah-sekolah yang berintikan ajaran agama muncul di sana-sini. Ajaran agama itulah merupakan suatu kebenaran yang patut dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh filsafat ini adalah Agustinus dan Thomas Aquino.
3.      Progresivisme
Mempunyai jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata. Menurut filsafat ini, tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada kebenaran yang pasti. Tujuan dari kebenaran itu bersifat relatif. Apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu tetap benar. Ukuran kebenaran ialah yang berguna bagi kehidupan manusia hari ini. Tokoh filsafat pendidikan Progresivis adalah John Dewey.
Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam pendidikan adalah mengembangkan peserta didik untuk bisa berpikir, yaitu bagaimana berpikir yang baik. Hal ini bisa dicapai melalui metode belajar pemecahan masalah yang dilakukan oleh anak-anak sendiri. Karena itu pendidikan menjadi terpusat pada anak.
4.      Rekonstruksi
Filsafat pendidikan Rekonstruksi merupakan variasi dari progresivisme yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki (Callahan, 1983). Mereka bercita—cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia seccara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat baru aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata susunan masyarakat lama dan membanguan tata susunan hidup yang baru sama sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan. Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran progresivis.
5.      Eksistensial
Filsafat pendidikan Eksistensial berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan  kehidupan menjadi terserap karena adda manusia. Manusia adalah bebas, akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri (Callahan, 1983).
Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempaatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitemen diri. Materi pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok.

C.    Filsafat Pendidikan di Indonesia
Bangsa Indonesia baru memiliki filsafat umum atau filsafat negara adalah Pancasila. Sebagai filsafat negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia,, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang, dan mewarnai segala kehidupan dari hari ke hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar