Halaman

Jumat, 16 November 2012

Kamis, 15 November 2012

KISAH DAN FAKTA MENARIK: Biaya Pendidikan Calon Guru Ditanggung hingga Lulu...

KISAH DAN FAKTA MENARIK: Biaya Pendidikan Calon Guru Ditanggung hingga Lulu...: Ilustrasi : Guru sedang mengajar Jakarta - Mulai tahun 2013, pemerintah bakal membatasi jumlah penerimaan mahasiswa baru di lembaga pen...

COMPETENCY BASED MODEL DALAM PENGEMBANGAN KURKULUM



A.    PENGERTIAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Ada berbagai definisi mengenai kompetensi. Sudarsono, mengutip berbagai sumber, memberikan definisi kompetensi. Kompetensi adalah kemampuan melaksanakan tugas-tugas atau berkarya di bidang keahlian tertentu. Selanjutnya Jones (2000), memberikan definisi kompetensi sebagai berikut the specification of knowledge and skill and the application of that knowledge and skill to the standards or learning outcomes (Jones, M.J. 2000. Curriculum Development. EEDP Project, DGHE). Mulyana (2000) menyatakan bahwa kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Hamlin, (1994) menyatakan bahwa competency is a statement which describes integrated demonstration of a cluster or related skills and attitude that are measurable and observable necessary to perform a job independently. Menurut Tillman (1996), competency consists of knowledge, skill, and attitude needed to perform an ability to do a certain job/profession. Gonzi (1997) dan Heger (1995), memberikan definisi kompetensi lebih luas lagi, yaitu meliputi berbagai kemampuan antara lain yang melandasi kepribadian, penguasaan ilmu (know why) dan keterampilan (know how), berkarya (what to do), menyikapi dan berprilaku dalam berkarya sehingga dapat mandiri dalam menilai dan mengambil keputusan secara bertanggungjawab (how to be a responsible person), dan hidup bermasyarakat dengan menerapkan kerja sama, saling menghormati dan menghargai nilai-nilai pluralisme dan perdamaian (how to live together). Menurut KEPMENDIKNAS No. 045/U/2002, kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.
Kompetensi adalah perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kompetensi yang diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasi oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, efektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Gordon menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut:
1.      Pengetahuan (knowledge) yaitu kesadaran dalam bidng kognitif.
2.      Pemahaman (understanding) yaitu kedalaman kognitf, dan afektf yang dimiliki oleh individu.
3.      Kemampuan (skill) adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan padanya.
4.      Nilai (value) adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang.
5.      Sikap ( attitude) yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar.
6.      Minat (interest) adalah kecendrungan seseorang untuk melakukan sesuatu perubahan.
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dapat diartikan sebagai suat konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakuakn (kompetnsi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat peserta didik, agar dapat melakuakn sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketetapan dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab.
Secara umum kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Sedangkan Kurkikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai pebelajar, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, 2002:3).
Paling tidak terdapat tiga landasan teoritis yang mendasari kurikulum berbasis kompetensi. Pertama, adanya pergeseran dari pembelajaran kelompok ke arah pembelajran individual. Dalam pembelajaran individual setiap peserta didik dapat belajar sendiri, sesuai dengan cara dan kemempuan masing masing, serta didak bergantung kepada orang lain. Kedua, perkembangan konssep belajar tuntas atau belajar sebagai penguasaan adalah suatu falsafah pembelaajaran yang tepat, semua peserta didik dapat mempelajari semua bahan yang diberikan dengan hasil yang baik. Ketiga, pendifinisisan kembali tentang bakat. Setiap peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, jika diberikan waktu yang cukup. Dalam hal ini perbedaan peserta didik yang pandai dan kurang pandai hanya terdapat pada waktu, orang yang kurang pandai memerlukan waktu yang agak panjang di bandingkan dengan peserta didik yang pandai.


B.     MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

 

Model pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu : (1) pendekatan top-down (the administrative model) dan (2) pendekatan the grass root model.
1.  The administrative model
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten.
Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top-Down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2.  The grass root model
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik.
Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass roots-nya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.


C.    PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi harus mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut ini (Arifin, 2011:157).
1.      Keimanan, nilai, dan budi pekerti luhur. Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat berpengaruh pada sikap dan arti kehidupannya. Keimanan, nilai-nilai, dan budi pekerti luhur perlu digali, dipahami, dan diamalkan oleh peserta didik.
2.      Penguatan integritas nasional yang dicapai melalui pendidikan yang memberikan pemahaman tentang masyarakat Indonesia yang majemuk dan kemajuan peradaban bangsa Indonesia dalam tatanan peradaban dunia yang multikultural dan multibahasa.
3.      Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika. Keseimbangan pengalaman belajar peserta didik melalui etika, logika, estetika, dan kinestetika sangat dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum dan hasil belajar.
4.      Kesamaan memperoleh kesempatan. Penyediaan tempat yang memberdayakan semua peserta didik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sangat diutamakan. Seluruh peserta didik dari berbagai kelompok seperti kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi dan sosial yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya.
5.      Abad pengetahuan dan teknologi informasi. Kemampuan berpikir dan abad belajar dengan mengakses, memilih, dan menilai pengetahuan untuk mengatasi situasi yang cepat berubah dan penuh ketidakpastian merupakan kompetensi penting dalam menghadapi abad ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.
6.      Pengembangan keterampilan hidup. Kurikulum perlu memasukan unsur keterampilan, sikap, dan perilaku adaptif, kooperatif dan kompetif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan hidup sehari-hari secara efektif. Kurikulum juga perlu mengintegrasikan unsur-unsur penting yang menunjang kemampuan untuk bertahan hidup.
7.      Belajar sepanjang hayat. Pendidikan berlanjut, sepanjang hayat hidup manusia untuk mengembangkan, menambah kesabaran, dan belajar memahami dunia selalu berubah dalam berbagai bidang. Kemampuan belajar sepanjang hayat dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan non-formal. Serta pendidikan alternatif yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
8.      Berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif. Upaya memandirikan peserta didik untuk belajar, bekerja sama, dan menilai diri sendiri sangat perlu diutamakan agar peserta didik mampu membangun pemahaman dan pengetahuan dalam rangka pencapaian upaya tersebut.


D.    KOMPONEN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

1.      Penilaian Berbasis Kelas
Penilaian berbasis kelas merupakan suatu kegiatan pengumpulan informasi tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan oleh guru yang bersangkutan sehingga penilaian tersebut akan “mengukur apa yang hendak diukur” dari siswa. Salah satu prinsip penilaian berbasis kelas yaitu, penilaian dilakukan oleh guru dan siswa. Hal ini perlu dilakukan bersama karena hanya guru yang bersangkutan yang paling tahu tingkat pencapaian belajar siswa yang diajarnya. Selain itu siswa yang telah diberitahu oleh guru tersebut bentuk/cara penilaiannya akan berusaha meningkatkan prestasinya sesuai dengan kemampuannya.
Prinsip penilaian berbasis kelas lainnya yaitu: tidak terpisahkan dari KBM, menggunakan acuan patokan, menggunakan berbagai cara penilaian (tes dan non tes), mencerminkan kompetensi siswa secara komprehensif, berorientasi pada kompetensi, valid, adil, terbuka, berkesinambungan, bermakna, dan mendidik.
Penilaian tersebut dilakukan antara lain meliputi: kumpulan kerja siswa (portofolio), hasil karya (product), penugasan (project), unjuk kerja (performance) dan tes tertulis (paper and pencil test).
Setelah melakukan serangkaian penilaian yang sesuai dengan prinsip-prinsip di atas, maka orang tua siswa akan menerima laporannya secara komunikatif dengan menitik beratkan pada kompetensi yang telah dicapai oleh anaknya di sekolah.
2.      Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan proses aktif bagi siswa dan guru urituk mengembangkan potensi siswa sehingga mereka akan “tahu” terhadap pengetahuan dan pada akhirnya “mampu” untuk melakukan sesuatu.
Prinsip dasar KBM adalah memberdayakan semua potensi yang dimiliki siswa sehingga mereka akan mampu meningkatkan pemahamannya terhadap fakta/konsep/prinsip dalam kajian ilmu yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuannya untuk berpikir logis, kritis, dan kreatif. Prinsip dasar KBM lainnya yaitu: berpusat pada siswa, mengembangkan kreativitas siswa, menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui berbuat. Prinsip KBM di atas akan mencapai hasil yang maksimal dengan memadukan berbagai metode dan teknik yang memungkinkan semua indera digunakan sesuai dengan karakteristik masing-masing pelajaran.
3.      Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah
Salah satu prinsip implementasi KBK adalah Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah. Prinsip ini perlu diimplementasi untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan aspirasi mereka. Prinsip Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah ini mengacu pada “kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan”. Yang dimaksud dengan “kesatuan dalam kebijaksanaan” ditandai dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat. dokumen KBK yang “sama” dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan “Keberagaman dalam pelaksanaan” ditandai dengan keberagaman silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai dengan karakteristik sekolahnya.
4.      Hasil Belajar
Lebih lanjut, dari berbagai hasil belajar sedikitnya dapat diidentifikasikan enam karakteristik kurikulum berbasis kompetensi, yaitu: (a)sistem belajar dengan modul, (b) menggunakan keseluruhan sumber belajar, (c) pengalaman lapangan (d) strategi individual personal (e) kemudahan belajar, dan (f) belajar tuntas.
a.       Sistem belajar dengan Modul
KBK menggunakan modul sebagai sistem pembelajaran. Dalam hal ini modul merupakan paket belajar mandiri yang meliputi serangkaian pengalaman belajar yang direncanakan dan dirancang secara sistematis untuk membantu peserta didik mencapai tujuan belajar. Modul adalah suatu proses pembelajaran menegnai suatu satuan bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, oprasional, dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik disertai dengan pedon penggunakan untuk para guru. Sebuah modul adalah pernyataan satuan pembelajaran dengan tujuan-tujuan, protes dan aktivitas belajar yang memungkinkan peserta didik memperoleh kompetensi-kompetensi yang belum dikuasai dari hasi protes, dan mengevaluasi kompetensi yang mengukur keberhasilan belajar.
Pembelajaran utama sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)      Setiap modul memberikan informasi dan memberikan petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh seseorang peserta didik, bagaimana melakukannya dan sumber belajar apa yang harus digunakan
2)      Modul merupakan pembelajaran individual, sssehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik pesrta didik. Dalam hal ini setiap modul harus: (1) memungkinkan pesrta didik mengalami kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur kemajuan belaajr yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
3)      Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik mmencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefesien mungkin, serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tetapi lebih dari itu, modul memberikan kesepatan untuk bermain peran, simulasi, dan berdiskusi.
4)      Materi yang disajikan secara logis dan sistematis sehingga peserta didik dapat mengetahui kapan memualai dan kapan mengakhiri suatu modul dan tidak menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang harus dilakukan atau dipelajari.
5)      Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaiaan tujuan belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik dalam mencapai ketentuan belajar. Pengukuran ini juga memerlukan sesuatu keriteria atau setandart kelengkapan modul.  
b.      Menggunakan keseluruhan sumber belajar
Suatu faktor yang menyebutkan rendahnya kualitas pembelajaran antara lain belum dimanfaatkannya sumber belajar secara maksimal, baik oleh guru maupun oleh peserta didik. Dalam kurikilum berbasis kompetensi (KBK) guru tidak lagi berperan sebagai aktor/aktris utama dalam proses pembelajaran, karena pembelajaran dapat dilakukan dengan memperdaya gunakan aneka ragam sumber belajar. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal peserta didik dituntut tidak hanya mengandalkan diri dari apa yang terjadi di dalam kelas tetapi harus mampu memanfaatkan sumber belajar dengan makasimal.
Secara sederhana sumber belajar dapat dirumuskan sebagai segala sesuatu yang dapat memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, dalam proses belajar mengajar. Dari beberapa sumber belajar yang ada dan mungkin dikembangkan dalam pembelaajran pada garis besar dpat dikelompokkan sebagai berikut:
Ø  Manusia, yaitu orang yang menyampaikan pesan secara langsung
Ø  Bahan, yaitu suatu yang mengandung pesan pembelajaran.
Ø  Lingkungan, yaitu ruang dan tempat dimana sumber-sumber dapat berinteraksi dengan peserta didik.
Ø  Alat dan peralatan, yaitu sumber belajar untuk produksi atau memainkan sumber-sumber yang lain.
Ø  Aktivitas, yaitu sumber belajar yang biasanya merupakan kombinasi antara suatu teknik dengan sumber lain untuk mempermudah belajar.
c.       Pengalaman lapangan
Kurikulum berbasis kompetensi lebih menekankan kepada pengalaman lapangan untuk mengakrabkan hubungan antara guru dan peserta didik keterlibatan. Di samping itu, mereka juga meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dalam ruang lingkup yang lebih luas untuk menunjang profesinya sebagai guru. Pengalaman lapangan dapat secara sistematis melibatkan masyarakat dalam pengembangan program, aktivitas, dan evaluasi pembelajaran. Pengalaman lapanagn dapat melibatkan tim guru dari berbagai disiplin ilmu dan antar disiplin, sehingga memungkinkan terkerakhannya kekuatan dan minat peserta didik terhadap pelaksanaan pembelajaran, dan terlindunginya guru terhadap rasa tidak sengan kepada peserta didik.
d.      Strategi individual personal
KBK mengusahakan strategi belajar individual personal. Belajar individuala adalah belajar berdasarkan tempo belajar peserta didik sedangkan belaajr personal adalah interaksi edukatif berdasarkan keunikan peserta didik, bakat, minat, dan kemampuan.
e.       Kemudahan belajar
Kemudahan belajar dalam kurikulum berbasis kompetensi diberikan melalui kombinasi antara pembejaran individual personal dengan pengalaman lapangan dan pembelajaran secara tim. Hal tersebut dilakuakn melalaui berbarapa alat komunikasi yang sudah dirancang. Berbagai media komunikasi tersebut perlu didayagunakan secara optimal untuk memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik dalam menguasai dan memeahami kompetensi tertentu.
f.       Belajar tuntas
Belajar tuntas merupakan setrategi pembelajaran yang dapat dilaksanakan di dalam kelas, dengan asumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat peserta akan mampu belajar dengan baik dan memperoleh belajar secara maksimal, terhadap seluruh bahan yang akan di pelajarai. Agar semua peserta didik memperoleh hasil secara maksimal, pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan akan tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melakukan evaluasi dan memberi bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang telah ditetapkan.


E.     IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

1.      Koordinasi dan Legitimasi
Keberhasilan suatu inovasi pendidikan, khususnya inovasi dalam pengenalan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat bergantung pada seberapa jauh dimensi koordinasi dapat dilakukan secara efektif dan komunikatif antar “stakeholder” yang terkait. Beberapa “stakeholder” yang terkait dalam pelaksanaan dan pelaksanaan kurikulum itu meliputi :
a.       Lembaga Pendidikan Guru pra jabatan (pre-service trainning institution) seperti LPTK, IKIP, Universitas, STKIP.
b.      Institusi Pembina Guru dalam jabatan (In-service Trainning Program) seperti PPPG, BPG, Direktorat Dikdasmen, Dinas Pendidikan.
c.       Pusat Kurikulum Pusat Perbukuan Sekolah (guru & Kepala sekolah & Pengurus Yayasan) Orang tua
d.      Siswa
e.       Masyarakat seperti pemerhati pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat, parpol, organisasi non partisipan
f.       Dewan Pendidikan Komite Sekolah
g.      Perguruan Tinggi Kelompok Asosiasi
Prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam koordinasi adalah “kesamaan visi” dan “kesamaan langkah” dalam memberikan bantuan pada sekolah (guru dan kepala sekolah) sehingga sekolah tidak kebingungan ketika akan memulai untuk menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dalam kondisi ini, sekolah (guru dan Kepala Sekolah) harus berada pada titik pusat “network” yang simpul-simpulnya menyertakan “stakeholder” lain yang berkepentingan dengan sekolah baik kepentingan pembinaan maupun kepentingan pemanfaatannya. Beberapa ciri koordinasi efektif itu antara lain
a.       Semua keputusan“stakeholder” mengalir cepat ke “stakeholder” lain yang ada dalam jaringan (network system)
b.      Semua kegiatan “stakeholder” untuk membina sekolah harus ada dalam payung.
c.       visi yang jelas dan telah disepakati bersama
d.      Satu masalah dalam simpul jaringan harus dirasakan dan dipecahkan oleh semua “stakeholder” yang terkait
e.       Tersedianya laporan tertulis yang lengkap dan rinci oleh masingmasing “stakeholder
f.       Semua keputusan, kegiatan “stakeholder” tidak melemahkan profesionalisme guru/kepala sekolah dan sekolah.
Semua bentuk/gagasan pembinaan untuk sekolah perlu memenuhi empat prinsip manajemen, yaitu P (Planning), O (Organizing), A (Actuating), dan C (Controlling) Khusus yang berkaitan dengan “legalisasi” pada penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah kepastian “kapan launching KBK dimulai” dan “bagaimana tahapantahapan implementasinya” serta “apa strategi/pola desiminasinya”. Semua ini telah ditetapkan dalam satu keputusan menteri. Penetapan ini akan berimplikasi pada pola penyempurnaan pendidikan sekolah di sekolah/perguruan tinggi seperti tentang sistem ujian akhir, sistem
penerimaan siswa/mahasiswa baru, mekanisme penyediaan dana, atau pada mekanisme sosialisasi, baik sosialisasi dari tingkat pusat ke daerah atau dari tingkat daerah ke sekolah.
2.      Prinsip Implementasi terhadap komponen kurikulum
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah berjalan sejak tahun 2001 pada beberapa sekolah yang dijadikan mini pilot. Impelementasi KBK merupakan salah satu bagian penting untuk mendapatkan masukan dalam rangka penyempurnan KBK baik dari aspek keterbacaan, keluasan, kedalaman, dan keterlaksanaannya di lapangan. Implementasi yang telah dilakukan tersebut meliputi beberapa prinsip yaitu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM); Penilaian Berbasis kelas; dan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah.

MANAJEMEN PENDIDIKAN: Manajemen Sarana Prasarana dalam Sistem Persekolah...

MANAJEMEN PENDIDIKAN: Manajemen Sarana Prasarana dalam Sistem Persekolah...: A.     Pengertian d an Tujuan Manajemen Sarana d an Prasarana . Manajemen berasal dari kata To Manage yang artinya mengatur. Peng...

Rabu, 14 November 2012

Landasan Filosofis Pendidikan Implikasi dalam Praktek Manajemen Pendidikan


A.    Filsafat, Ilmu, dan Ilmu Pendidikan
Filsafat dalam arti sekarang mulai dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Para tokoh filsafat pada waktu itu adalah Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates mengajarkan bahwa manusia harus mencari kebenaran dan kebijakan dengan cara berpikir secara dialektis. Plato mengatakan kebenaran hanya ada di dalam ide yang bisa diselami dengan akal, sedangkan Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari melalui pengalaman para indra.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertetangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa dinikmati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung es, kita hanya mampu melihat yang ada di atas permukaan laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami sampai ke dasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu metafisika, epistemologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut:
1.      Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang segala susuatu yang terdapat di dalam alam ini. Dalam kaitannya dengan manusia, ada dua pandangan yaitu: (Callahan, 1983)
a.       Manusia pada hakikatnya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa dan roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari  ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum Idealis,, Skolastik, dan beberapa Realis.
b.      Manusia adalah organisme materi. Pandangan ini dianut kamu Naturalis, Materialis, Eksperimentalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup. Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi menyenangkan.
2.      Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut:
a.       Ada lima sumber pengetahuan yaitu:
(1)   Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan tabel.
(2)   Common sense, yang ada pada adat dan tradisi.
(3)   Intuisi yang berkaitan dengan perasaan.
(4)   Pikiran yang menyimpulkan hasil pengalaman.
(5)   Pengalaman yang terkontrol yang mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
b.      Ada empat teori kebenaran yaitu:
(1)   Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsisten dengan kebenaran umum.
(2)   Koresponden, susuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.
(3)   Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensi memberi manfaat bagi kehidupan.
(4)   Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3.      Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan manusia bisa berpikir dan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan benar.
4.      Etika adalah filsafat yang menguraikan tentang perilaku manusia. Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsaffat etika sangat besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangkan perilaku manusia, antara lain afeksi peserta didik.

Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Jujun (1985) mengemukakan sifat ilmu pada taraf peralihan yang dibedakannya dengan sifat ilmu ang sudah benar-benar mapan. Ketika ilmu baru muncul, baru terlepas dan filsafat sebagai induknya, ilmu masih punya pertautan dengan filsafat. Pada taraf ini ilmu menggunakan norma-norma filsafat, yaitu norma-norma tentang bagaimana seharunya. Penemuan-penemuan ilmiah masih dikonfirmasikan kepada norma-norma filsafat.
Pada taraf selanjutnya, ilmu meyatakan dirinya otonom, ia bebas sama sekali dengan konsep-konsep dan norma-norma berdasarkan apa adanya di lapangan. Ilmu mengemukakan hakikat alam beserta isinya sebagaimana adanya, bebas dari norma-norma yang diciptakan manusia.
Dalam buku yang lain, Jujun (1981) membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua bagian yang saling berkaitan satu dengan lain. Tingkat proses perkembangan yang dimaksud adalah:
1.      Tingkat empiris adalah ilmu yang baru ditemukan di lapangan. Ilmu yang masih berdiri sendiri-sendiri, baru sedikit bertautan dengan penemuan lain yang sejenis. Pada tingkat ini wujud ilmu belum utuh, masing-masing sesuai dengan misi penemuannya karena belum lengkap.
2.      Tingkat penjelasan atau teoritis, ialah ilmu yang sudah mengembangkan suatu struktur teoritis. Dengan struktural ini ilmu-ilmu empiris yang masih terpisah dicari kaitannya satu dengan yang lain dan dijelaskan sifat kaitannya itu. Dengan cara ini struktur berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu pola yang berarti.
Dari pengertian tersebut, bahwa ilmu empiris berupa simpulan-simpulan penelitian dan konsep-konsep serta ilmu teoritis dalam bentuk teori-teori atau grand theory-grand theory. Setiap ilmuan seharusnya tidak merasa puas dengan menemukan konsep-konsep saja, melainkan perlu diteruskan sampai terbentuknya suatu teori.
Pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu. Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain, pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat. Sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafata diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.
Di zaman Yunani kuno, bangsa Sparta mendidik anak-anaknya menjadi warga negara yang sehat, berdisiplin tinggi, dan tangkas menjadi militer, dengan tujuan utama mempertahankan keutuahan bangsa dari gangguan bangsa lain. Pandangan manusia tentang manusia mulai menunjukan titik terang, yang diawali pada zaman Athena, yaitu pada zaman Romawi, dan diteruskan pada zaman Humanisme sampai sekarang.
Zaman-zaman tersebut masing-masing mempunyai ciri-ciri. Zaman Athena mulai memperhatikan kemerdekaan manusia dan keharmonisan jasmani-rohani. Sementara itu Romawi meneruskan kepada ketatanegaraan, hukum, kehidupan sehari-hari, dan pendidikan agama. Sedangkan tujuan utama pada zaman Humanisme ialah membentuk manusia yang harmonis, dalam arti yang luas dengan pelajaran-pelajaran yang klasik yaitu kebudayaan Yunani dan Romawi. Dan pada abad ke-18 ada satu hal yang menonjol patut diketahui ialah gerakan nasionalisme. Pada zaman ini filsafat hidup manusia dikuasai oleh keinginan yang kuat untuk membentuk negara sendiri. Sebab itu muncullah pendidikan nasional di sejumlah wilayah yang berorientasi kepada kepentingan bangsa dan negara itu sendiri. Dengan salah satu akibat negatif adalah timbul sifat kegilaan terhadap tanah air (chaufanisme) di Jerman yang melahirkan bencana perang dunia.
Pada zaman nasionalisme itulah pendidikan sebagai ilmu mulai muncul. Zaman ini dikatakan sebagai kebangkitan ilmu pendidikan, sebab komponen-komponen ilmu itu mulai lengkap. Ilmu pendidikan telah memisahkan diri secara sempurna dari induknya yaitu filsafat.
Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perebutan pengaruh dalam dunia pendidikan yaitu antara pembawaan dan lingkungan. Schopenhauer berpendapat bahwa anak manusia sudah dibekali segala sesuatu sejak dilahirkan. Bila sudah sampai pada waktunya semua bekal itu akan menjadi realitas. Pendidikan tidak ada gunanya. Aliran ini disebut Nativisme, dari kata nativus yang artinya pembawaan. Bertentangan dengan aliaran ini, ialah aliran Empirisme, berpendapat bahwa lingkunganlah yang memegang peranan penting dalam menentukan maju mundurnya hidup dan kehidupan manusia. Kata empirisme berasal dari kata empiria yang lingkungan. Tokohnya ialah Jhon Locke yang terkenal dengan teori tabularasa. Tabularasa adalah meja yang dilapisi lilin tempat menulis orang-orang Yunani Kuno. Pendamai kedua teori ini adalah William Strem, yang kemudian diikuti oleh Woodworth dan Marquis, yang menciptakan teori Konvergensi. Teori ini memandang kekuasaan pembawaan dan lingkungan adalah sama dalam perkembangan manusia.
Ketiga teori klasik tersebut di atas masih mewarnai teori pendidikan pada zaman modern. Dalam aliran Behaviorisme misalnya, B.F Skinner sebagai peletak dasar teori Determinism Enviromental, menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan, perilaku, saraf, dan fisik manusia.
Sama halnya dengan teori lingkungan, teori pembawaan pun masih berguna dalam zaman modern. Jansen dengan hasil-hasil penelitiannya tahun 1969 membangkitkan kembali teori pembawaan (Zanti Arbi, 1988).
Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa ilmu termasuk ilmu pendidikan, lahir dari filsafat umum. Namun ada konsep lain yang menyatakan bahwa ilmu lahir filsafat umum melalui perantara, yaitu filsafat ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam hal ini kelahiran ilmu ekonomi akan dibantu oleh filsafat ekonomi, kelahiran IPA dibantu oleh filsafat IPA, kelahiran filsafat ilmu pendidikan dibantu oleh filsafat pendidikan, dan sebagainya.
Sikun Pribadi (ISPI, 1989) menggambarkan hubungan filsafat, filsafat pendidikan, ilmu pendidikan, ilmu pendidikan praktis, perbuatan mendidik, pengalaman mendidik, dan keyakinan pendidik, sebagai berikut:
1.      Filsafat atau filsafat umum atau filsafat negara menjadi sumber segala kegiatan manusia atau mewarnai semua aktivitas warga suatu bangsa.
2.      Filsafat pendidikan dijabarkan dari filsafat, artinya filsafat pendidikan tidak boleh bertentangan dengan filsafat.
3.      Selanjutnya ilmu pendidikan (yang bersifat teoritis) ada durutkan ketiga, sebab ia dijabarkan dari filsafat pendidikan. Di sinilah teori-teori pendidikan dirumuskan.
4.      Ilmu pendidikan praktis adalah merupakan konsep-konsep pelaksanaan teori-teori pendidikan di atas. Jadi ini dijabarkan dari teori-teori pendidikan.
5.      Pada langkah berikutnya adalah perbuatan mendidik, yaitu tindakan-tindakan nyata dalam menerapkan teori pendidikan praktis.
6.      Sebagai akibat dari perbuatan mendidik, akan mendapatkan pengalaman mendidik. Sudah tentu pengalaman ini didapat di lapangan.
7.      Pengalaman ini memberi umpan balik kepada teori pendidikan yang terdapat di dalam ilmu pendidikan, yang memanfaatkannya untuk kemungkinan merevisi teori semula.
8.      Sebagai akibat dari revisi tadi, sangat mungkin ilmu pendidikan memberi umpan balik kepada filsafat pendidikan dan kemungkinan merevisi konsep-konsepnya.
9.      Ilmu pendidikan juga mengadakan kontak hubungan dengan pengalaman-pengalaman mendidik, untuk selalu mengingatkan diri agar tidak menyimpang dari teori-teori mendidik.
10.  Sementara perbuatan-perbuatan mendidik bisa menimbulkan keyakinan tersendiri tentang pendidikan. Suatu keyakinan yang belum tampak pada filsafat, filsafat pendidikan, maupun ilmu pendidikan. Keyakinan ini memberi bahan baru kepada filsafat, untuk dipikirkan kembali dan dimasukan ke dalam filsafat.

B.     Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Ada sejumlah filsafat pendidikan yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia. Namun demikian semua filsafat itu akan menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut: (Ateng Sutisna, 1990)
1.      Apakah pendidikan itu?
2.      Apakah yang hendak ia capai?
3.      Bagaimana cara terbaik merealisasi tujuan-tujuan itu?
Masing-masing pertanyaan ini dapat dirinci lebih lanjut, yang bertalian dengan apakah pendidikan itu, antara lain:
1.      Bagaimana sifat pendidikan itu?
2.      Apakah pendidikan itu merupakan sosialisasi?
3.      Apakah pendidikan itu sebagai pengembangan individu?
4.      Bagaimana mendefenisikan pendidikan itu?
5.      Apakah pendidikan itu berperan penting dalam membina perkembangan anak?
6.      Apakah pendidikan itu mengisi perkembangan atau mengarahkan perkembangan anak?
7.      Apakah perlu membedakan pendidikan teori dengan pendidikan praktik?
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang hendak dicapai oleh pendidikan, antara lain:
1.      Berapa proposi pendidikan yang bersifat umum?
2.      Berapa proposi pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu?
3.      Apakah peserta didik diperoleh berkembang bebas?
4.      Apakah perkembangan peserta didik diarahkan ke nilai tertentu?
5.      Bagaimana sifat manusia itu?
6.      Dapatkah manusia diperbaiki?
7.      Apakah manusia itu sama atau unik?
8.      Apakah ilmu dan teknologi satu-satunya kebenaran utama dalam era globalisasi ini?
9.      Apakah tidak ada kebenaran lain yang dapat dianut pada perkembangan manusia?
Sementara itu yang dimaksudkan dengan menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah memeriksa secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara jelas validasinya. Hal ini perlu dilakukan agar dalam menyusun konsep pendidikan secara utuh tidak terjadi keracunan, tumpang tindih, serta arah yang simpang siur. Dengan demikian ide-ide yang kompleks bisa dijernihkan terlebih dahulu, tujuan pendidikan yang jelas, dan alat-alatnya juga ditentukan yang tepat.
Francis Bacon dalam bukunya The Advancement of Learning mengemukakan tesis bahwa kebayakan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia mengandung unsur-unsur validitas yang bermanfaat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-hari, bila pengetahuan itu dibersihkan dari salah satu konsep yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bacon menggunakan logika induktif sebagai teknik kritis atau analisis untuk menemukan arti pendidikan yang dapat diandalkan. Melalui pengalaman secara kritis dengan logika induktif akan dapat ditemukan konsep-konsep pendidikan yang dapat diandalkan.
Mempreskriptifkan filsafat pendidikan adalah upaya atau memberi pengarah kepada pendidik melalui filsafat pendidikan. Yang dijelaskan bisa berupa hakikat manusia bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, aspek-aspek peserta didik yang patut dikembangkan: proses perkembangan itu sendiri, batas-batas keterlibatan pendidik, arah pendidikan yang jelas, target-target pendidikan bila dipandang perlu, perbedaan arah pendidikan bila diperlukan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat anak-anak.
Filsafat pendidikan juga mengingatkan kepada kita agar sangat hati-hati menyusun suatu teori. Struktur teori itu harus jelas, tidak boleh tumpang tindih. Suatu teori itu harus jelas, tidak boleh tumpang tindih. Suatu teori yang akan dibangun perlu dianalisis bagian-bagiannya, cabang-cabangnya, dan ranting-rantingnya termasuk pengertian pendidikan itu sendiri, tujuan pendidikan, dan cara-cara mencapai tujuan. Masing-masing bagian perlu divalidasi terlebih dahulu agar bebas dari salah penafsiran memakai terminologi yang tepat, defenisi yang jelas dan sebagainya.
Agar uraian filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut akan dipaparkan tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia, diantaranya:
1.      Esensialis
Filsafat ini bertitik tolak dari kebenaran  yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa Latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusia-manusia berkaliber internasional. Pengaruh filsafat ini sangat kuat sampai sekarang. Sekolah-sekolah dengan kurikulum dan metode tradisionalnya merupakan perwujudan filsafat pendidikan ini. Sementara itu kebudayaan klasik yang dipandang esensial seperti itu di dunia timur adalah Mahabrata dan Ramayana.
2.      Perenialis
Filsafat ini tidak jauh berbeda dengan filsafat pendidikan esensialis. Kalau kebenaran esensial pada esensialis ada pada kebudayaan klasik dengan Great Booknya, maka kebenaran Perenialis ada pada wahyu Tuhan. Tentang bagaimana cara menimbulkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam proses belajar mengajar tidaklah jauh berbeda antara esensialis dengan perenialis. Proses pendidikan mereka sama-sama bersifat tradisional.
Filsafat ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan agama Katolik-Kristen. Pada zaman itu tokoh-tokoh agama menguasai hampir semua bidang kemasyarakatan. Sehingga sangat logis kalau sekolah-sekolah yang berintikan ajaran agama muncul di sana-sini. Ajaran agama itulah merupakan suatu kebenaran yang patut dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh filsafat ini adalah Agustinus dan Thomas Aquino.
3.      Progresivisme
Mempunyai jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata. Menurut filsafat ini, tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada kebenaran yang pasti. Tujuan dari kebenaran itu bersifat relatif. Apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu tetap benar. Ukuran kebenaran ialah yang berguna bagi kehidupan manusia hari ini. Tokoh filsafat pendidikan Progresivis adalah John Dewey.
Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam pendidikan adalah mengembangkan peserta didik untuk bisa berpikir, yaitu bagaimana berpikir yang baik. Hal ini bisa dicapai melalui metode belajar pemecahan masalah yang dilakukan oleh anak-anak sendiri. Karena itu pendidikan menjadi terpusat pada anak.
4.      Rekonstruksi
Filsafat pendidikan Rekonstruksi merupakan variasi dari progresivisme yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki (Callahan, 1983). Mereka bercita—cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia seccara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat baru aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata susunan masyarakat lama dan membanguan tata susunan hidup yang baru sama sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan. Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran progresivis.
5.      Eksistensial
Filsafat pendidikan Eksistensial berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan  kehidupan menjadi terserap karena adda manusia. Manusia adalah bebas, akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri (Callahan, 1983).
Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempaatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitemen diri. Materi pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok.

C.    Filsafat Pendidikan di Indonesia
Bangsa Indonesia baru memiliki filsafat umum atau filsafat negara adalah Pancasila. Sebagai filsafat negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia,, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang, dan mewarnai segala kehidupan dari hari ke hari.